Selasa, 19 Juli 2011

MEMBANGUN PEMBELAJARAN HUMANISTIK

MEMBANGUN PEMBELAJARAN HUMANISTIK
DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Ta’rifin

Pola pembelajaran humanistik di lembaga pendidikan persekolahan ternyata harus dibangun. Hal ini dikarenakan, selama ini, pendidikan kita lebih mengedepankan otoriteristik dalam proses pembelajaran. Otoriteristik ini terealisasi dalam bentuk teacher oriented/guru-sentris, yang menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran dan satu-satunya sumber pengetahuan; sebaliknya, menempatkan peserta didik bagai celengan yang siap ditabung oleh gurunya. Inilah apa yang disebut ahli pendidikan multikultural terkemuka dari Brazil, Paulo Freire, sebagai pendidikan “gaya bank” (banking system). Proses pembelajaran yang demikian membuat peserta didk menjadi manusia-manusia yang kehilangan daya kemanusiaannya (dehumanisme). Membangun interaksi humanistik dalam proses pembelajaran harus dimulai dari kedua belah pihak (guru-murid). Tidak ada lagi pola otoriter, top-down, pemaksaan dan penindasan terhadap peserta didik. Yang berlangsung dalam interaksi tersebut adalah kesadaran guru dan murid untuk berdialog, bermitra, menghadapi masalah bersama, dan sebagainya. Bila ini dilakukan, maka para peserta didik kita akan menjadi manusia utuh yang inovatif, kreatif, handal, mandiri dan manusiawi.

A. Pendahuluan
Saat ini, pendidikan kita tengah mengalami pergeseran paradigma, termasuk paradigma proses pembelajaran. Paradigma baru proses belajar mengajar adalah menjadikan siswa sebagai pusat belajar (student oriented). Konsep ini muncul sebagai bentuk penentangan pengajaran gaya lama, yang menjadikan guru sebagai pusat belajar (teacher oriented) (Syaukani HR, 2006: 3).
Konsep teacher oriented pada prakteknya telah menjadikan guru sebagai seorang “raja/diktator” di kelas. Ia bebas berbuat apa saja melebihi kewenangannya tanpa mempertimbangkan aspirasi dari para muridnya. Kritikan dari murid tidak dianggap sama sekali (Lihat Paul Suparno, 2004: vi). Guru menjadikan murid-muridnya sebagai calon manusia yang “baik”, “penurut”, “sopan” dan mengikuti kehendaknya, sehingga memperteguh asumsi bahwa guru adalah seorang otoriter. Tentu, hal ini tidak kondusif bagi terciptanya dialogika pendidikan. Tradisi kreatif, inovatif, kritis dan demokratis dipastikan tidak akan pernah muncul dari proses pembelajaran demikian.
Paulo Freire, tokoh pendidikan terkemuka asal Brasil, menyebut pembelajaran teacher oriented dengan istilah pembelajaran gaya bank. Karena guru menempatkan diri di hadapan murid-muridnya seperti seorang penabung yang menabungkan uangnya di bank ((Freire: 2000, 59). Proses pembelajaran demikian menjadikan “belajar” bukan sebagai proses belajar dalam arti sebenarnya (learning process), tetapi sekedar proses pengajaran (teaching process), di mana hanya terjadi proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) dari seorang guru, sementara muridnya cukup duduk dengan tenang, mendengarkan, menulis dan menghapal pengetahuan yang disampaikan sang guru.
Sementara itu, gaya baru pembelajaran yang muncul sebagai penolakan gaya lama (teacher oriented), yakni gaya pembelajaran student oriented, dalam implementasinya, dinilai terlalu jauh terjebak pada euforia kebebasan murid dalam proses pembelajaran di kelas. Sehingga yang terjadi, murid tidak lagi memakai nalar etikanya sebagai seseorang yang butuh kepada guru. Guru, dalam proses pembelajaran student oriented memang menjadi mitra murid-muridnya. Tetapi, tidak berarti kemudian, mereka menjadikan guru hanya sebagai fasilitator dan mediator semata. Ia tetaplah seorang murid yang secara emosional membutuhkan guru. Dalam makna leksikalnya, murid berarti seseorang yang membutuhkan kepada guru.
Dalam konsep pendidikan Islam, seperti dituturkan Ahmad Hassan, guru terkemuka Persis, guru adalah seseorang yang harus dihormati dan dipanuti (A. Hassan, 1993). Seorang murid harus menghormati guru di depan dan di belakangnya, pandai mengambil hatinya dan bertingkah laku yang bisa membuat sang guru senang hatinya. Karena, guru tidak akan mentransformasikan ilmunya kecuali dalam keadaan senang. Seorang murid yang tidak mempunyai penghormatan dan etika kepada gurunya, lanjut A. Hassan, dipastikan ilmunya tidak bermanfaat (A. Hassan, 1993).
Berkaitan implikasi student oriented yang tidak tersistem dengan baik, ada asumsi yang menyebutkan, maraknya tindakan kontra-produktif pendidikan yang terjadi satu dasawarsa belakangan ini yang dilakukan oleh para peserta didik kita seperti tawuran antar pelajar, narkoba, seks bebas di areal sekolah/kampus dan berbagai kenakalan remaja lainnya, disebabkan karena tidak terkendalinya para peserta didik dari jangkauan guru; tidak ada lagi penghormatan dan penghargaan murid terhadap seorang guru, sebaliknya guru acuh terhadap apa yang terjadi pada seorang murid (Lihat H.A.R. Tilaar, 1999: 74-75).
Dari sinilah kemudian berkembang pemikiran, bagaimana agar student oriented dengan learning process-nya dapat berjalan baik, tetapi tidak mengabaikan posisi dan fungsi guru sebagai pendidik, sehingga terjadi interaksi dan simbiosa mutualisma antara keduanya.
Tulisan ini berusaha memberikan langkah baru dalam mensintesiskan dan menjembatani dua proses pembelajaran tersebut agar terjalin jembatan hati antara guru dan murid, sehingga konsep ilmu bermanfaat dapat terwujud dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata “guru” dan “murid” dalam pengertian umum (termasuk di dalamnya dosen dan mahasiswa). Juga kata “sekolah” untuk menunjukkan makna lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT).
B. Teorisasi Guru dan Murid
1. Guru
Guru adalah orang yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu guru harus mampu membawa siswanya kepada tujuan yang ingin dicapai dari proses pembelajaran.
Secara etimologi, kata “guru” berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya mengajar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 288). Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar (John M. Echols dan Hassan Shadily, 2003: 581). Selain itu, terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran; educator, pendidik, ahli didik (Ibid: 207); lecturer, pemberi kuliah, penceramah (Ibid: 353) dan sebagainya. Dalam rurabasa bahasa Jawa, guru berarti orang yang “digugu dan ditiru” (didengarkan dan diteladani).
Dalam pengertian terminologi, guru berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. UUSPN No. 20/2003 pada Bab XI tentang Tenaga Kependidikan, Pasal 39 ayat 3 secara tegas menyatakan, bahwa guru adalah “Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen”.
Ahmad Tafsir menyatakan, guru adalah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid; biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah (Ahmad Tafsir, 1992: 75).
Bagi Sardiman AM (2001), guru merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam proses pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang potensial dalam pembangunan bangsa ini.
Karena begitu signifikannya guru bagi proses pembangunan bangsa, maka sudah sepatutnya pemerintah menempatkan guru sebagai institusi/tenaga profesional yang “dihargai”. Sebagai tenaga profesional, guru tidak semata-mata berperan sebagai “pengajar” yang mentransfer pengetahuan (transfer of knowledges) saja, tetapi juga sebagai “pendidik” yang mentransfer nilai-nilai (transfer of values) dan sebagai “pembimbing” (counselor) yang memberikan pengarahan dan menuntun siswanya dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran nanti seorang guru diharapkan mampu menempatkan dirinya sebagai seorang demokrat, fasilitator, mitra dan mediator bagi para siswanya.
2. Murid
Secara etimologi, kata “murid” berasal dari bahasa Arab, `arada, yuridu iradatan, muridan, yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian semacam ini dapat dimengerti, karena seorang murid adalah seseorang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya dengan cara belajar bersungguh-sungguh.
Murid merupakan individu yang langsung mengalami proses pembelajaran. Murid dididik oleh pengalaman belajar mereka, dan kualitas pendidikanya bergantung pada pengalamannya, kualitas pengalaman-pengalaman, sikap-sikap, termasuk sikapnya pada pendidikan.
Pendapat lama mengatakan, bahwa murid adalah objek pendidikan. Pendapat ini amat dipengaruhi oleh konsep Tabularasa yang mengibaratkan anak didik sebagai kertas putih kosong yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh para guru/pengajarnya. Dalam konsep ini, murid diposisikan secara pasif, seolah-olah benda mati; mau dijadikan apa saja terserah gurunya. Sebaliknya guru amat dominan, ibarat raja/penguasa diktator dalam kelas.
Sedangkan pendapat baru menempatkan murid sebagai subyek pendidikan, yang memiliki tujuan dan ingin meraih-cita-citanya secara optimal. Murid sendiri-lah yang menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikannya. Jadi yang diperhatikan pertama kali dalam proses pembelajaran adalah murid, baru komponen pendidikan yang lain.
Hal tersebut senada dengan Paul Suparno (2004: 3) yang menyatakan, tugas guru di era Otonomi Pendidikan ini sudah berubah, dari yang hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada para peserta didik berubah menjadi fasilitator yang membantu agar peserta didik sendiri belajar dan menekuni bahan pelajaran. Jadi, paradigmanya bergeser dari guru aktif dan siswa pasif menuju siswa aktif dan guru sebagai fasilitator siswa (Paul Suparno 2004: 3). Atau dalam bahasa Whitehead, pendidikan harus memberikan ruang lebih banyak pada aspek keterlibatan peserta didik (Marcel J. Mandagi, 1999).
C. Paradigma Baru Proses Pembelajaran
Pendidikan yang dikatakan sebagai usaha pembentukan manusia yang bertanggungjawab dan demokratis adalah normatif dalam perumusannya; sedangkan proses interaksi pendidikannya adalah suatu proses teknis. Di dalam proses teknik inilah secara spesifik proses belajar mengajar berlangsung. Proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni murid sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar.
Secara umum, proses belajar mengajar (interaki edukatif) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: memiliki tujuan, ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, ditandai penggarapan materi secara khusus, ditandai dengan aktivitas, ada guru yang berperan sebagai pembimbing, membutuhkan disiplin dan ada batas waktu untuk pencapaian tujuan serta memerlukan kegiatan evaluasi.
1. Dari Interaksi Dehumanistik Menuju Interaksi Humanistik
Hubungan guru dengan murid dalam proses pembelajaran merupakan faktor yang sangat menentukan. Betapapun baiknya materi pelajaran yang diberikan dan sempurnanya metode yang dipergunakan; apabila interaksi guru dan murid tidak harmonis akan dapat menciptakan hasil (result) pembelajaran yang tidak diinginkan.
Dalam interaksi ini, salah satu caranya adalah adanya contact hours atau jam-jam bertemu antara guru-murid; yang hakekatnya merupakan kegiatan di luar jam-jam presentasi di muka kelas seperti biasanya. Untuk tingkat perguruan tinggi peranan contact hours ini sangat penting sekali. Pada saat contact hours ini, dapat dikembangkan komunikasi dua arah, sehingga terjalinlah interaksi humanistik yang dapat membantu meningkatkan keberhasilan pembelajaran murid. Interaksi humanistik antara guru dan murid, lebih lanjut ditujukan agar murid kelak menjadi human people, yaitu manusia yang memiliki kesadaran untuk memperlakukan orang lain dengan penuh respek dan martabat (dignity) (Syaukani HR, 2002: 85).
Interaksi humanistik yang merupakan konsep baru pola hubungan guru-murid dalam proses pembelajaran --yang mengedepankan sikap demokratis dan transparansi guru; keaktifan, kemandirian dan keinovatifan murid; keramahan guru dan kesantunan murid; dan saling hormat menghormati-- berusaha mengeliminasi kecenderungan otoriter guru sebagai warisan birokrasi yang feodalistik, sikap ketertutupan dan keangkuhan seorang guru, serta kepasifan peserta didik.
Dalam bahasa Paulo Freire, “interaksi humanistik” ini sejalan dengan konsep pendidikan (baca: proses pembelajaran) problem possing (hadap masalah), yang berusaha menjadikan para peserta didiknya sebagai seorang humanis; yang dapat mengembangkan kemampuannya untuk memahani secara kritis diri dan kehidupannya; yang menegaskan peserta didik sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming) untuk menuju kesempurnaan dalam realita yang tidak pernah selesai (Paulo Freire, 2000: 66-70) .
Konsep pendidikan “hadap masalah” dimunculkan Freire sebagai lawan konsep pendidikan (proses pembelajaran) “gaya bank” (banking system), yang pada realitanya telah membentuk peserta didik sebagai manusia ‘bisu”, tidak komunikatif; memberikan ruang gerak pasif kepada para siswanya hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan informasi pelajaran, sehingga memunculkan daya dehumanisasi pada peserta didik (Paulo Freire, 2000: 59) .
Secara umum, ada 10 ciri-ciri interaksi pembelajaran dalam konsep pendidikan gaya bank seperti ditulis Freire:
1. Guru mengajar, murid diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. guru berfikir, murid difikirkan
4. guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5. guru menentukan peraturan, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid mnyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran tersebut
9. Guru mencampur-adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, untuk menghalangi kebebasan muridnya
10.Guru adalah subyek dalam proses pembelajaran, murid adalah obyek belaka (Ibid)..
Konsep pendidikan gaya bank, lebih jauh menganggap pengetahuan sebagai anugerah yang dihibahkan oleh seorang guru (orang yang dianggap berpengetahuan) kepada para murid (yang dianggap tidak berpengetahuan apa-apa). Tidaklah mengherankan kemudian, apabila konsep pendidikan gaya bank ini memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur (Ibid).
Pada konsep gaya bank, guru menempatkan dirinya sebagai lawan murid-muridnya, dan menganggap mereka orang-orang bodoh, sehingga tidak ada dialogika dalam proses pembelajaran. Padahal, dialogika tidak akan terjadi dalam hubungan yang bersifat dominasi dan otoriter. Dialog hanya akan terwujud manakala melibatkan pemikiran kritis yang tidak ada dikotomi antara dua pihak. Dalam konteks ini, pendidikan sejatinya tidak dilaksanakan oleh guru terhadap muridnya, tetapi justeru oleh guru bersama murid dengan sekolah sebagai medianya.
Sama seperti Freire, Ivan Illich pun menganggap interaksi dehumanistik telah membelenggu peserta didik, karena peran guru terlalu berlebihan: sebagai pengawas, sebagai moralis, dan sebagai ahli terapi, sehingga membuat peserta didik sebagai pihak yang bodoh sehingga membatasi gerak peserta didik dan mengalienasinya dari lingkungan sosial (Ivan Illich, 2000: 35-49).
Dengan demikian, pengembangan interaksi pembelajaran humanistik diorientasikan kepada sifat dan hakekat peserta didik sebagai manusia yang dinamis. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi dan rangsangan-rangsangan sehingga potensi kecerdasan mereka dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.
Untuk itu, pendidik harus mengenal peserta didiknya lewat pendekatan pemahaman bahwa mereka adalah “a natural being, asociated with other natural being, and like any other object of nature subject to scientific analysis and individual development” (Anak adalah satu makhluk alami, yang berhubungan dengan makhluk-makhluk alami yang lain, dan seperti juga obyek alamiah yang lain, ia merupakan bahan analisis ilmiah dan sekaligus sebagai satu perkembangan sendiri) (Theodore Bramel, 1955: 130).
Oleh karena itu, peserta didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk berbuat dan bersikap sesuai kemampuannnya dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan intelijensinya. Di sini prinsip interaksi pembelajaran humanistik adalah menjadikan anak sebagai “bos” pendidikan, sedangkan guru adalah “pelayan” pendidikan. Artinya, ada nilai demokratisasi pendidikan dalam peroses pembelajaran.
2. Dari Teaching Process Menuju Learning Process
Untuk mewujudkan atmosfir pendidikan dalam suasana dialogis, demokratis dan komunikatif; di mana tidak terjadi proses indoktrinasi, dominasi dan otoriter guru terhadap murid-muridnya, diperlukan visi baru pembelajaran di kelas.
Paradigma lama yang memaknai pendidikan secara reduktif hanya sebatas proses pengajaran semata (teaching process), telah memposisikan guru sebagai seseorang yang mempersiapkan murid-muridnya untuk lebih mementingkan aspek kognitif (penguasaan pengetahuan) semata melalui proses mendengarkan, menerima informasi dan mentaati segala perlakuan gurunya. Sementara aspek lainnya, seperti motorik dan afektif, yang sejatinya dapat memotivasi potensi otak secara utuh tidak/kurang diberdayakan
Di sinilah perlunya merumuskan kembali visi pembelajaran kita, dan merubah pola pembelajaran yang sesuai dengan dinamika zaman. Sudah saatnya kita mengubah paradigma pembelajaran dari teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini, proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid.” Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilah Ivan Illich dalam Deschooling Society-nya menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (murid/siswa), tetapi learner (yang belajar) (Lihat Indra Djati, 2001: 25).
Konsep learning process ini sesuai dengan empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO sebagaimana ditulis Indra Djati (2001: 25-26), yakni:
Pertama, learning to think berfikir. Ini berarti pendidikan berorientasi kepada pendidikan logis dan rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi.
Kedua, learning to do (belajar berbuat/hidup). Yakni learner diharapkan mempunyai keterampilan untuk mampu meenyelesaikan problem keseharian. Dengan kata lain, pendidikan diarahkan pada how to solve the problem.
Ketiga, learning to life together (belajar hidup bersama). Di sini pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang murid yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai latar bahasa, etnik, agama dan budaya. Di sinilah pendidikan nilai semisal perdamaian, penegakan HAM, pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama yang mesti menginternal dalam kesadaran learner.
Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Ini dimaksudkan agar learner memiliki jati diri sehingga tidak mengalami krisis kepribadian, sehingga di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having (kesenangan materi dan jabatan semata).
Keempat visi tersebut disimpulkan dalam kata kunci “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademik semata, melainkan juga berorientasi pada, bagaimana seorang murid bisa belajar dari lingkungan, pengalaman, orang lain, alam dan sebagainya. Sehingga mereka mampu mengembangkan daya berfikir imajinatif dan sikap-sikap kreatif.
D. Merajut Jembatan Hati Antara Guru dan Murid
Untuk membangun keseimbangan peran antara guru dan murid dalam proses belajar (learning process), maka diperlukan pemahaman guru berkaitan lima hal berikut: (1) faktor psikologis murid dalam belajar-mengajar; (2) penyesuaian kebutuhan belajar murid; (3) pengembangan individu dan karakteristik murid; (4) metode pembelajaran; dan (5) peran guru.
(1) Belajar yang merupakan proses kegiatan mengubah tingkah laku subyek belajar (murid), secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Seorang guru harus menyadari pentingnya kedua faktor ini, khususnya faktor intern yang yang menyangkut faktor fisiologis dan psikologis murid.
Pemahaman guru terhadap faktor psikologis murid ini, akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tiadanya pemahaman terhadap faktor-faktor psikologis ini akan menambah kesulitan dalam proses pengajaran. Karena bisa jadi, informasi yang disampaikan guru tidak menyentuh hati murid. Begitu juga murid mengalami kesulitan bertanya, komunikasi edukatif dan tidak paham terhadap apa yang disampaikan guru. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran, guru diharapkan banar-benar mengtehui kondisi psikologis murid-muridnya.
(2) Penyesuaian kebutuhan murid yang dilakukan oleh seorang guru, di samping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan seefektif mungkin, juga dalam rangka memberikan materi pelajaran sesuai kebutuhan murid. Hal ini akan membantu pelaksanaan proses belajar mengajar. Seorang guru harus memahami kebutuhan-kebutuhan pembelajaran murid-muridnya, baik kebutuhan jasmaniah, kebutuhan sosial, kebutuhan intelektual, kebutuhan emosional maupun lainnya.
(3) Pengembangan individu berarti keinginan untuk mewujudkan individu menjadi pribadi yang mandiri, selaras, seimbang dan utuh. Sistem klasikal yang selama ini diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas-kelas, kenyataannya tidak dapat mengembangkan kemampuan individu-individu siswa secara pribadi dan mandiri. Guru masih memperlakukan individu murid sebagai kelompok. Padahal, untuk membentuk individu, haruslah dikembangkan proses belajar mengajar secara individual.
Sistem pembelajaran yang dilakukan secara individual, akan mempermudah guru dalam memahami karakter murid-muridnya secara lebih detail. Selanjutnya, pemahaman guru terhadap karakteristik muri-muridnya, baik karakteristik yang berkaitan latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan, gaya belajar, usia kronologi, tingkat kematangan, spektrum dan ruang lingkup minat, lingkungan sosial ekonomi, intelegensia, prestasi belajar, motivasi dan lain-lainnya, diasumsikan akan mempermudah guru dalam menentukan tujuan pendidikan murid-muridnya.
(4) Agar learning process dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan metode dan pendekatan yang mendukungnya, yaitu metode pembelajaran yang tidak lagi mementingkan subject matter (seperti terlihat dalam GBPP yang rigid daripada siswa sendiri). Subject matter pada kenyataannya telah memaksa murid untuk menguasi pengetahuan dan melahap informasi dari guru, tanpa memberi peluang kepada murid untuk melakukan perenungan secara kritis, apalagi berfikir inovatif. Di sinilah guru dituntut dapat menerapkan metode dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi belajar dan kondisi siswa. Apapun namanya metode tersebut, yang penting menekankan peran aktif siswa. dan bertumpu pada dialog. Sehingga murid mampu berpendapat dan menyampaikan komentarnya terhadap berbagai materi pelajaran dan informasi yang ada.
(5) Guru diakui atau tidak, tentu lebih berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya ketimbang muridnya. Walaupun demikian, tidak berarti ia satu-satunya pemegang kebenaran. Ia harus mampu memosisikan dan memerankan dirinya dalam learning process.
Ia tidak hanya berperan sebagai pengajar dan informator belaka. Lebih dari itu, guru adalah seorang pendidik yang tidak hanya “mengajar” seseorang agar menguasai pengetahuan, tetapi juga “melatih” murid-muridnya berbagai keterampilan dan sikap mental mereka. Mendidik sikap mental seseorang tidak hanya cukup mengajarkan pnegtahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu harus “dididikkan” dengan guru sebagai idola dan teladannya; seorang “pembimbing” yang menuntun dan mengarahkan perkembangan murid-muridnya sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan mereka, baik fisik maupun mental.
Guru adalah seorang “fasilitator” yang memfasilitasi dan memberikan jalan tengah bagi penyelesaian masalah-masalah yang menimpa murid-muridnya. Ia menjadi “mediator” yang mampu menjembatani berbagai kepentingan yang ada: antara dirinya dengan murid-muridnya, sekolah dan lingkungannya.
1. Signifikansi Pendidikan Nilai dalam Proses Pembelajaran
Secara jujur harus diakui, munculnya suasana yang tidak kondusif dalam proses belajar mengajar belakangan ini, di mana murid tidak lagi menghormati gurunya; murid tidak sopan; murid menganggap guru teman bercanda; murid menggunjingkan guru-gurunya; dan sebaliknya guru acuh dan tidak peduli terhadap apa yang terjadi dengan murid-muridnya, seperti tawuran, seks pranikah, narkoba dan sebagainya adalah disebabkan tiadanya pendidikan budi pekerti diajarkan dan ditanamkan di kelas/sekolah.
Oleh karena itu, membangun jembatan hati antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar, di samping lima hal di atas, adalah perlunya pendidikan nilai “diajarkan” dan “dididikkan” di kelas/sekolah. Menurut H.A.R. Tilaar, setidaknya ada tiga alasan, mengapa pendidikan nilai perlu dibangkitkan kembali dalam praksis pendidikan persekolahan. Pertama, melemahnya ikatan keluarga; kedua, kecenderungan negatif dalam kehidupan remaja; ketiga, perlunya nilai-nilai etik dikedepankan dalam kondisi bangsa yang rapuh moralitasnya (H.A.R. Tilaar, 1999: 74-75).
Pentingnya pendidikan nilai (moral) diakomodasi dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3: “Pendidikan nasioanl berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.”
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut menegaskan bahwa iman dan takwa merupakan landasan sistem nilai yang sejati dan harus dianut oleh setiap pendidik. Sikap dan perilaku para pendidik yang dilandasi iman dan takwa diharapkan berpengaruh terhadap diri peserta didik, baik melalui transfer of knowledge maupun melalui building of character.
Pendidikan nilai ini, secara verbal menjelaskan bagaimana seseorang berbicara dan bersikap terhadap sesama manusia. Dan secara praksis menuntut peserta didik uuntuk mengimplementasikan sikap, tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di sekolah (terhadap guru-guru dan teman-temannya).
Dalam konteks persekolahan, entitas pendidikan nilai berarti, guru menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran serta mampu mendemonstrasikannya melalui sikap dan perilaku tentang kebaikan dan kebenaran dari karakter tingkah laku manusia. Idealnya, guru harus mampu “mempersonfikasikan” nilai-nilai pada sikap dan tingkah lakunya. Jadi diharapkan, guru mampu menyusupkan nilai-nilai kepada murid-murdnya pada setiap sikap dan tingkah lakunya. Bila hal ini terlaksana, maka tujuan pendidikan nilai, yakni melahirkan suatu perbuatan dan tindakan yang baik pada individu murid merupakan suatu keniscayaan, dan jembatan hati antara guru dan murid insya Allah akan lebih mudah terwujud (Abdul Hasim, 2000; Lihat Syaukani HR, 2006: 22).
2. Petuah Budaya dan Agama
Dalam konteks membangun jembatan hati antara guru dan murid dalam proses belajar (learning process) ini, catatan-catatan budaya, agama dan petuah-petuah orang tua dapat menunjukkan kepada kita, betapa interaksi yang kondusif dan baik –yang didasari nilai-nilai etika-- antara pendidik dan peserta didik/antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar akan memberikan berkah dan manfaat kepada keduanya, terutama kepada individu murid. Sebaliknya, interaksi belajar mengajar yang tidak didasari nilai-nilai etika, akan sulit membuka jembatan hati antara guru dan murid (Lihat Abdul Hasim, 2000).
Ki Hajar Dewantara, memberikan karakteristik seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan menempatkan diri sebagai “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Maknanya, seorang guru hendaknya menjadi panutan/teladan bagi murid-muridnya, pembimbimg dan pendorong semangat murid-muridnya. Sehingga secara psikologis, murid merasa ada orang yang berusaha motivasinya.
Al-Ghazali seperti diungkapkan dalam magnum opus-nya, Ihya Ulum al-Din, menjelaskan bahwa seorang guru hendaknya bersikap kasih sayang kepada murid-muridnya sebagaimana kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya sendiri, transparan terhadap muridnya dalam transformasi pengetahuan, menjauhi pekerti buruk, tidak memaksakan kehendaknya kepada siswa, demokratis, memperlakukan murid sesuai kesanggupannya, menjadikan murid sebagai mitra ddan sebagainya. Sebaliknya, seorang murid juga harus menghormarti gurunya, sopan santun, patuh terhadap gurunya, tidak menyombongkan diri dengan pengetahuan yang dimilikinya serta tidak memaksa/memerintah gurunya (Imam Al-Ghazali, 2000: 82-86).
KH. Hasyim Asy`ari, seorang pendiri NU mengisyaratkan, bahwa guru adalah orang yang mulia dan memiliki pengalaman yang belum/tidak dimiliki oleh seorang murid. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar, seorang murid hendaknya mentaati dan tawadhu` kepadanya. Menurutnya, murid yang tidak menghormati seorang guru, maka tiada akan mendapat keberuntungan, keberkahan dan manfaat dari ilmunya. Sebaliknya, apabila ada suasana harmonis antara guru dan murid-muridnya, hal demikian akan memunculkan suasana kondusif dan kenikmatan tinggi bagi murid-muridnya (KH. Hasyim Asy’ari, 1415H: 29-30).
Sementara itu, menurut A. Hassan, pendiri Persis, guru adalah orang yang patut dihormati sebagaimana orang menghormati Rasul dan Tuhan. Dalam proses pembelajaran, ia menganjurkan, agar guru bersikap demokratis dan membuka nuansa kritis kepada murid-muridnya. Walaupun demikian, A. Hassan menggarisbawahi, guru hanya akan menyampaikan pengetahuan manakala dalam keadaan gembira dan tidak tertekan hatinya (A. Hassan, 1993).
Oleh karena itu, seorang murid hendaklah mampu menarik hati seorang guru untuk selalu gembira dan bahagia sehingga transformasi pengetahuan akan dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian, tidak dibenarkan sama sekali seorang murid membuat masalah dengan maksud merendahkan martabat guru, tidak menghargai, menghormatinya dan menghinanya. Seorang murid yang berbuat demikian terhadap gurunya, menurutnya tidak akan mendapatkan manfaatnya ilmu (A. Hassan, 1993).
E. Kesimpulan
Paradigma proses pembelajaran teacher oriented yang telah sekian lama berjalan diubah dengan paradigma baru, yakni student oriented. Proses pembelajaran guru-sentris disinyalir hanya menjadikan guru berlaku otoriter di kelas dan memproduksi peserta didik yang pasif. Sementara itu, student oriented, dalam praktiknya, telah mereduksi martabat guru: guru diacuhkan oleh murid; gru digunjingkan, guru dijadikan teman bercanda, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah dalam interaksi antara guru dan murid, agar student oriented tidak kehilangan idealistasnya dalam menghasilkan siswa yang humanis, kreatif dan invatif. Jalan tengah itu adalah memasukkan nilai-nilai moral, agama, dan petuah-petuah budaya dan orang tua dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Dengan itu diharapkan, interaksi, pola kemitraan dan dialogika yang dibangun oleh guru dan murid dalam proses pembelajaran berjalan dalam kerangka pendidikan yang sesungguhnya (transfer of knowledge dan character building).
F. Daftar Bacaan
AM., Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, cet. Ke-8

Asy’ari, Hasyim, Adab al-Alim wa al-Muta’allim fi Maa Yahtaj Ilaihi al-Muta’allumm fi Ahwal Ta-allum wa Maa Yatawagaf Alaihi al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limihi, Jombang: Turats Al-Islamy, 1415 H

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. Ke-1

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (terj dari Pedagogy of The Oppressed), Jakarta: LP3ES, 2000, cet. Ke-3

Ghazali, Imam Al, Ihya Ulum al-Din Juz I, Beirut: Dar al-Ma`arif, 2000.

Hasim, Abdul, “Pendidikan dalam Dimensi Moral”, Media Indonesia, Januari, 2000

Hassan, Ahmad, Kesopanan Tinggi Secara Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1993, cet. Ke-9

Illich, Ivan, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (terj dari Deschooling Society), Jakarta: Yayasan Obor, 2000, edisi ke-2

Mandagi, Marcel J, “Pendidikan Atas dasar Aktivitas Peserta Didik”, Suara Pembaharuan, Mei 1999

M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. Ke-27

Sidi, Indra Djati, Menuju masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina-Logos, 2001, cet. Ke-1

Suparno, Paul, Guru Demokratis di Era Reformasi, Jakarta: Grasindo, 2004

Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan: Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, Ed. Ahmad Ta’rifin & Firdaus Efendi, Jakarta: Nuansa Madani, 2006, cet. Ke-2

Syaukani HR, Titik Temu dalam Dunia Pendidikan: Tanggung Jawab Pemerintah, Pendidik, Masyarakat dan Keluarga dalam Membangun Bangsa, Ed. Ahmad Ta’rifin & Firdaus Efendi, Jakarta: Nuansa Madani, 2002, cet. Ke-1

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, cet. Ke-3

Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bandung: Citra Umbara, 2003

MENIMBANG ULANG UJIAN NASIONAL (UN)

MENIMBANG ULANG UJIAN NASIONAL
Oleh:
Ahmad Ta’rifin, MA

Abstrak:
Sejak tahun akademik 2003/2004, pemerintah menyelenggarakan UN pada lembaga pendidikan dasar dan menengah. Meski seharusnya UN dilaksanakan dalam kerangka mengukur indeks mutu sekolah, pada kenyataanya UN telah disalah-fungsikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan peserta didik. Padahal, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Artinya, UN telah inkonstitusional. Demikian juga, UN tidak memenuhi stan2dar validitas dan reliabilitas penilaian hasil belajar peserta didik karena selama enam tahun pelaksanaannya tidak mampu mengukur kualitas pendidikan nasional. Selain itu, pelaksanaan UN di lapangan yang memunculkan diskriminasi terhadap terhadap mata pelajaran tertentu, dan diskriminasi hasil belajar siswa, serta berbagai kecurangan yang ada menjadikan UN dianggap bertentangan dengan HAM.

Kata Kunci: Ujian Nasional, Validitas, Reliabilitas, Inkonstitusional, HAM.
A. Pendahuluan
Umur Ujian Nasional tidak panjang, hanya 6 tahun! Itu pun kalau tahun depan (2010), pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan UN di sekolah. Pemberlakuan UN sebagai cara untuk menentukan kelulusan siswa SLTP dan SLTA memang telah dikalahkan oleh putusan Fatwa MA yang mengabulkan judicial review seorang wali murid sebuah SLTA di Depok Jawa Barat, agar UN dihentikan pelaksanaannya karena bertentangan dengan HAM.
Berdasar pengamatan penulis, pada kenyataannya, setelah UN diselenggarakan lebih dari enam kali sejak tahun akademik 2003/2004, itu pun dengan standar nilai kelulusan yang sangat minim (tahun 2006:4.00; 2007:4.25; 2008:4.50) dan masih diterapkannya sistem konversi (baca: katrol) nilai, penulis mulai ragu terhadap i'tikad baik pemerintah untuk menjadikan UN sebagai standar kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan pendidikan nasional.
Pertama, alat pengukur dikatakan valid apabila bisa mengukur sesuai dengan ukurannya, seperti kilogram (kg.) untuk mengukur berat; meter untuk mengukur jarak, dan lain-lain. Demikian halnya UN akan bisa dinilai sebagai alat ukur jika secara keseluruhan mampu mengatasi persoalan mutu pendidikan. Hal ini bisa diindikasikan dengan adanya perubahan mutu siswa/lulusan, antara sebelum dan sesudah pelaksanaan UN. Jika tidak, maka UN tidak dapat dijadikan standar. Tetapi jika ada perubahan positif, maka UN bisa dijadikan standar mutu pendidikan.
Kedua, alat ukur dikatakan reliabel manakala bisa dipercaya sebagai alat ukur. Standar meter sebagai alat ukur jarak, sama di belahan dunia manapun. Demikian juga kilogram, bisa dipercaya sebagai standar berat internasional. Maka, jika hasil UN berjalan secara konsisten, ditandai dengan adanya peningkatan mutu pendidikan secara konsisten dan berlaku (berjalan) lama, maka UN bisa dijadikan sebagai alat pengukur standar mutu pendidikan nasional.
Pertanyaannya, apakah UN yang telah berjalan 6 tahun ini telah menunjukkan dirinya sebagai alat ukur pendidikan nasional yang valid dan reliabel? Mungkinkah hanya dengan tiga bidang studi --tahun 2009 empat bidang studi-- (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa Inggris untuk tingkat SLTP), UN bisa dijadikan representasi bagi puluhan bidang studi lainnya dan alat pengukur mutu pendidikan?
Agaknya kebanyakan kita sepakat untuk menjawab tidak. Apalagi, jika dikaitkan dengan persoalan kompetensi, yang saat ini diyakini sebagai orientasi mutu pendidikan nasional. Tentu, di sini kita menemukan sebuah paradoks. Satu sisi, pemerintah mensentralisasi pelaksanaan UN dengan 3 atau 4 bidang studi saja, sementara dari sisi lain, kompetensi siswa sesuai keahlian masing-masing diabaikan. Bagaimana dengan siswa yang hebat dalam pelajaran agama sementara lemah dalam Bahasa Inggris misalnya. Atau bagaimana nasib siswa yang kuat dalam bidang matematika tetapi lemah dalam pelajaran Bahasa Indonesia?

B. Memahami Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment)
Banyak orang mencampuradukkan antara istilah evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu. Penilaian (assesment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/).
Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas. Tetapi keempat istilah diatas mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/).

1. Tujuan Penilaian
Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, di antaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
a. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).
b. Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
c. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.
d. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
e. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.

2. Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Ketiga domain yang mencakup berbagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences), kini menjadi orientasi daripada kompetensi mutu pendidikan. Artinya, ketiga domain/ranah tersebut hendaknya menjadi orientasi hasil belajar secara komprehensif, tidak parsial, sebagaimana terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini.

C. Mengukur Validitas dan Reliabilitas Ujian Nasional (UN)
Dengan memahami evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) sebagaimana tersebut di atas, maka Ujian Nasional (UN) dikategorikan sebagai means daripada ends. Means didefinisikan sebagai alat dan prosedur, solusi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai ends yang diinginkan, sementara ends adalah hasil yang didapatkan setelah menyelesaikan aplikasi strategi atau teknik tertentu. Sebab itulah, yang seharusnya menjadi penting untuk dipertanyakan adalah bukan bagaimana pihak-pihak yang terkait dapat mengimplementasikan Ujian Nasional (UN) dengan baik, melainkan apakah Ujian Nasional (UN) tersebut sudah menjadi alat yang tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah (http://re-searchengines.com/).
Kegagalan dalam menentukan apa-apa yang harus dicapai sebelum menentukan bagaimana cara untuk mencapainya dipastikan akan menyia-nyiakan hal-hal yang sangat berharga, seperti waktu, sumber daya, dan juga akan berakibat fatal bagi peserta didik. Oleh karena itu, perlu dilakukan assesment kebutuhan mengenai penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah terlebih dahulu, sebelum mengakhiri dengan kesimpulan bahwa Ujian Nasional (UN) adalah alat yang tepat atau tidak tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah tersebut (http://re-searchengines.com/).
Bila diamati secara mendalam, tujuan penentuan lulus-tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan adalah untuk mengetahui, sejauhmana peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu yang diharapkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu melalui kegiatan pembelajaran pada lembaga pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, hanya oleh pendidik tentunya. Sebab pihak yang paling mengetahui perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan hanyalah pendidik. Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 58 ayat 1 bahwa: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dengan melakukan pengamatan harian terhadap perkembangan kompetensi peserta didik secara berkesinambungan, maka pendidik akan mendapatkan hasil assesment yang lebih valid. Secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif (http://www.republika.co.id.Republika.02/05/2006)..
Hasil assesment tersebut tentunya akan menunjukkan sejauh mana kemampuan pendidik dalam membantu peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar. Utomo Dananjaya berpendapat bahwa idealnya, assesment hasil belajar peserta didik memiliki 2 fungsi:
Pertama memperbaiki proses kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini proses evaluasi memungkinkan guru dan birokrasi pendidikan mendapatkan umpan balik dari peserta didik atas proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Sehingga, guru sebagai tenaga pendidik memiliki referensi yang akurat atas perkembangan kemampuan peserta didik dalam proses belajar. Dengan demikian, guru dapat merumuskan pola-pola belajar dan kurikulum yang tepat dalam meningkatkan kemampuan si peserta didik ((http://mainview. org/artikel_lengkap.php).
Fungsi kedua adalah mengetahui kemajuan belajar siswa. Dengan proses evaluasi, guru dan birokrat pendidikan dapat mengetahui kemajuan belajar siswa dari sisi individual. Guru dan birokrat pendidikan kelak dapat memberikan suatu penghargaan bagi siswa yang mengalami kemajuan positif sehingga ia merasa bangga atas kemampuannya. Sebaliknya, guru memberikan perhatian lebih bagi mereka yang mengalami kemunduran dalam proses belajar. Sehingga si peserta didik mendapat bimbingan untuk meningkatkan kemampuan belajarnya (http://mainview. org/artikel_lengkap.php).
Hasil assesment terhadap hasil belajar peserta didik dapat juga digunakan sebagai pertimbangan apakah peserta didik tersebut telah menguasai sejumlah kompetensi tertentu pada level tertentu, sehingga peserta didik yang bersangkutan dapat melanjutkan pada level pendidikan yang lebih tinggi dari level sebelumnya. Sehingga bila hasil assesment peserta didik masih belum memenuhi kompetensi yang diharapkan, maka pendidik yang bersangkutan harus berusaha memperbaiki kemampuannya dalam mendampingi peserta didik hingga peserta didik tersebut berhasil mencapai kompetensi tertentu yang diharapkan.
Di Finlandia yang memiliki sistem pendidikan terbaik sedunia, assesment terhadap hasil belajar peserta didik digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja lembaga pendidikan dalam mendampingi peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Bahkan target pencapaian kompetensi peserta didik tidak dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan standar tertentu seperti di Indonesia, melainkan ditentukan oleh peserta didik sendiri sehingga tugas pendidik hanyalah mendampingi peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkannya. Hal tersebut yang ternyata menjadi pemacu peserta didik dalam belajar sehingga tidak mengherankan bila prestasi peserta didik asal Finlandia adalah yang terbaik di dunia berdasarkan beragam survey internasional.

1. Ujian Nasional: Inkonstitusional
Diketahui bahwa UN yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat 20). Ironisnya, hasil dari UN yang hanya dilakukan selama beberapa hari (3 atau 4 hari) ini difungsikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan oleh pemerintah berdasarkan kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik selama bertahun-tahun. Pengadaan UN sebagai alat assesment hasil belajar peserta didik oleh pemerintah adalah pelanggaran terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Sangatlah tidak logis bila pemerintah yang tidak terlibat langsung dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, secara tiba-tiba dengan semena-mena melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik.
Selain pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, tentu saja soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini melalui BSNP, tidak sinergis dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diikuti oleh peserta didik. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda, karena sekolah telah menerapkan KTSP. Secara prinsip, UN yang sentralistis bertentangan dengan KTSP yang desentralistis. Dan lagi, pemberlakuan UN sebagai alat assesment hasil belajar peserta didik telah menginjak-injak hak pendidik dan otoritas sekolah dalam implementasi KTSP. Pemberlakuan keduanya secara bersamaan adalah bentuk inkonsistensi kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah (http://re-searchengines.com/).
Penyelenggaraan UN mulai dari prasyarat keikutsertaan peserta didik dalam UN hingga kriteria kelulusan peserta didik dari UN ternyata diserahkan pemerintah pada lembaga yang seolah-olah independen dan tidak termasuk dalam elemen pemerintah yang dikenal dengan nama BSNP (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 67, 69, dan 71). Walaupun dalam kenyataannya di lapangan lembaga ini tidak benar-benar independen, sebab dari proses pembentukannya saja sudah terlihat tidak independen. BSNP dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada Mendiknas, jadi tidak ada bedanya memang, antara pemerintah dengan BSNP, karena keduanya berada pada pihak yang sama (sama-sama pihak yang merupakan representasi dari pemerintah). Payung hukum otoritas penyelenggaraan UN pada BSNP dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP menjadi batal hukum dengan sendirinya sebab secara hierarkis bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang memuat bahwa assesment hasil belajar peserta didik hanya dapat dilakukan oleh pendidik (http://re-searchengines.com/).
Kewenangan pemerintah dalam melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik dipertanyakan payung hukumnya, sebab kewenangan tersebut memang tidak diberikan pada pemerintah sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Apalagi penyelenggaraan UN oleh pemerintah sebagai alat untuk melakukan assesment hasil belajar peserta didik dan alat ukur kelulusan, jelas-jelas tidak berdasar hukum dan inkonstitusional (Tilaar, 2004). Hal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah adalah assesment terhadap kinerja lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 78 (Tilaar: 2004).

2. Ujian Nasional: Pelanggaran Terhadap HAM
Pemberlakuan UN sebagai alat kelulusan peserta didik sangat bertentangan dengan HAM yang mengakui hak warganegara untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Sebagaimana pendapat Utomo Danandjaja, penetapan standar kelulusan memiliki ideologi diskriminatif sebab telah mengkotak-kotakkan ‘kelas’ yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang kurang cerdas (http://www.vhrmedia.com/). Sebab, hasil UN tersebut digunakan peserta didik untuk mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Peserta didik yang hasil UN-nya tinggi akan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang dianggap lebih berkualitas dan sebaliknya, peserta didik yang hasil UN-nya kurang tinggi akan ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah pinggiran yang berkualitas rendah. Padahal setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas (UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1), malahan peserta didik yang dianggap ‘kurang’ memiliki hak untuk didampingi secara lebih intensif oleh pendidik dan bukannya ‘dihukum’ untuk memasuki sekolah yang kualitasnya malah ‘kurang’ sehingga peserta didik makin terpuruk.
Belum lagi, pengadaan Ujian Paket C yang dijadikan sebagai sarana ujian remidial oleh pemerintah malah semakin membuat kesenjangan yang lebar antara peserta didik yang dianggap pandai versi UN dan versi Ujian Paket C sehingga akan semakin menambah beban psikologis peserta didik (http://www.hukumonline.com/). Sebab akan terjadi dikotomi antara ijazah pendidikan formal dengan ijazah pendidikan Paket C yang tidak selalu diterima oleh PT maupun dunia kerja karena masih dipandang sebelah mata.
Diskriminasi yang timbul akibat pemberlakuan UN ini sangat bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah meniadakan diskriminasi. Dan diskriminasi terhadap peserta didik yang terjadi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan berpotensi membunuh rasa percaya diri peserta didik ini tidak terjadi di Finlandia. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat sistem rangking, apalagi membuat label tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah pada peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Peserta didik yang mereka bahasakan sebagai ‘peserta didik yang agak lambat belajar dibandingkan dengan peserta didik lainnya’ malah diberikan pendampingan intensif oleh sekolah tentunya dengan pendidik yang memiliki kualitas didik lebih, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Diskriminasi yang terjadi tidak hanya pada peserta didik namun juga terjadi pada mata pelajaran. Ada kesenjangan prioritas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak diujikan dalam UN, sebab tidak semua mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik pada lembaga pendidikan diujikan dalam UN. Jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN juga berubah-ubah setiap tahunnya. Pada UN tahun 2008 lalu, mata pelajaran yang diujikan dalam UN SMA berjumlah 6 mata pelajaran, sementara UN SMK tetap 3 mata pelajaran, untuk UN SMP bertambah 1 mata pelajaran menjadi 4 mata pelajaran, dan UN SD tetap 3 mata pelajaran (http://www.kaltengpos.com 25/10/07).
Perubahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah tindakan yang diambil BSNP terkait banyaknya masukan mengenai diskriminasi antara mata pelajaran yang diujikan dan tidak dujikan dalam UN. Namun, tindakan BSNP tersebut tetap saja tidak dapat meniadakan diskriminasi yang terjadi akan prioritas mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Para pendidik di sekolah peserta didik tentunya juga akan lebih mempersiapkan peserta didiknya dalam menghadapi sejumlah mata pelajaran tertentu saja yang akan diujikan dalam UN (http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/)
Seto Mulyadi menilai bahwa pelaksanaan UN justru bisa membuat peserta didik tidak belajar selama belum mendekati waktu UN dan cenderung hanya memprioritaskan belajar pada saat menjelang UN (http://www.liputan6.com/news/). Secara tidak langsung, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menentukan bahwa sejumlah mata pelajaran tertentu lebih penting dari sejumlah mata pelajaran lainnya, tanpa alasan yang jelas. Imbasnya, peserta didik, pendidik, orang tua, maupun masyarakat secara luas akan membangun paradigma yang sama dengan pemerintah. Sebagai contoh, dengan tidak diujikannya mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan, maka mata pelajaran tersebut dianggap tidak penting dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika maupun Bahasa Inggris yang diujikan dalam UN, sehingga pendidik maupun peserta didik tidak akan mempelajari mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan dengan sungguh-sungguh. Walaupun secara logis diketahui bahwa mempelajari kedua mata pelajaran tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan pada kecerdasan afektif peserta didik.
Menurut Doni Koesoema, model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga menimbulkan dampak psikologis yang akan mematikan unsur kreativitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti. Para peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan tampak meningkatkan intensitas belajarnya bila waktu UN semakin dekat. Hal tersebut juga didukung dengan sekolah mereka yang semakin banyak memberikan jam pelajaran tambahan hanya untuk drilling soal-soal UN. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan lembaga bimbingan belajar untuk mengadakan try out soal-soal UN (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006).
Inilah yang dibanggakan pemerintah bahwa motivasi belajar siswa menjadi meningkat dengan diselenggarakannya UN. Padahal, apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai robot. Peningkatan intensitas kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya stimulus dari luar, yang dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan karena sangat tidak manusiawi (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006). Bahkan, menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak (http://www.liputan6.com/news/). Hukuman yang dimaksud tentunya adalah diskriminasi peserta didik dengan stempel ‘lulus dan pandai’ bagi peserta didik yang nilai UN-nya tinggi dan sebaliknya.
Selain hanya mengukur tingkat kekuatan hapalan para peserta didik secara kognitif, UN mengabaikan kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik dengan tidak melakukan assesment secara komprehensif terhadapnya. Model UN tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 25 ayat 4). Padahal menurut Benjamin S. Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan (Moh. Yamin, http://jawabali.com/pendidikan/22/04/2008). Bila seorang peserta didik cerdas secara kognitif atau intelektual, belum tentu ia memiliki kecerdasan perilaku secara afektif. Sehingga model UN yang hanya mengukur tingkat kekuatan hapalan para peserta didik secara kognitif ini, tidak dapat secara sewenang-wenang memberikan kategori ‘siswa pandai’ terhadap peserta didik yang memiliki hasil UN tinggi dan sebaliknya.
Kualitas soal UN juga menjadi pertanyaan yang tidak kalah penting. Sebab UN yang hanya berlangsung selama beberapa jam tersebut hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan peserta didik pada taraf kognitif, yang tentunya sangat amat bergantung pada kualitas soal yang diujikan dalam UN. Walaupun Depdiknas menyatakan bahwa dasar penyusunan soal-soal UN adalah standar kompetensi lulusan (SKL) dan materinya merupakan irisan dari kurikulum 1994, 2004, dan KTSP (Moh. Yamin, http://jawabali.com/pendidikan/22/04/2008), namun hal tersebut tidak menjamin kualitas soal. Bahkan publik mempertanyakan mengapa BSNP tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang diujikan (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008).
Belum lagi implementasi KTSP yang menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, tentu akan sangat menyulitkan para pembuat soal dalam membuat soal UN yang sesuai dengan apa yang dipelajari oleh masing-masing peserta didik. Ditemukannya banyak kasus peserta didik yang dinyatakan tidak lulus UN padahal telah diterima di PT sangatlah mengejutkan. Secara logika, bagaimana mungkin seseorang telah dinyatakan siap belajar di PT sementara dinyatakan belum siap meninggalkan jenjang pendidikan menengah? (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008).
Hal ini mengindikasikan adanya ‘ketidaksambungan kualitas’ antara soal UN SMA dengan ujian masuk PT yang berarti bahwa tidak ada kesinambungan antar jenjang pendidikan. Jikalau demikian, terlihat jelas bahwa baik tidaknya nilai UN peserta didik yang digunakan sebagai penentu kelulusan peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tidak ada relevansinya dengan partisipasi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Sehingga nilai UN tersebut akhirnya menjadi sia-sia belaka.

D. Kaji Ulang Ujian Nasional (UN)
Dikaji dari berbagai segi, UN tidak layak menjadi penentu kelulusan peserta didik, bahkan tidak ada relevansinya dengan peningkatan mutu pendidikan. Anehnya, UN tetap diselenggarakan oleh pemerintah, meskipun penyelenggaraan UN dihujani oleh protes dari berbagai kalangan masyarakat. Bila dipahami secara mendalam, sebenarnya penyelenggaraan UN ini adalah cara pengukuran instan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan bahwa mutu pendidikan di negeri ini meningkat seiring dengan dinaikkannya standar nilai minimal untuk kelulusan.
Secara empiris terbukti, bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, namun alibi pemerintah yang tidak berdasar ini terus diwacanakan pada publik sebab UN diyakini sebagai cara termudah untuk mendapatkan kebanggaan akan peningkatan mutu pendidikan, sekalipun hasil UN tersebut telah mereka manipulasi dengan berbagai modus operandi kecurangan dalam penyelenggaraan UN.
Kebanggaan fiktif pemerintah akan keberhasilan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan yang telah mereka rekayasa melalui hasil UN ini ternyata juga bukan satu-satunya keuntungan. Kebijakan UN adalah bentuk hegemoni pemerintah terhadap kalangan grassroot (baca: sekolah, guru, dan peserta didik). Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten serta masuknya UN di tengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang terkadang lebih tragis dari kebijakan penjajah mengontrol pendidikan.
Menurut Prellezo, cara neokolonisasi ini bekerja begitu halus dan licik dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dan penyelenggaraan UN yang dari berbagai segi telah mematikan kreatifitas dan inisiatif peserta didik serta meneror mereka secara psikologis, adalah cara teraman bagi pemerintah untuk melanggengkan hegemoninya terhadap rakyat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Lembaga pendidikan formal tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang dapat membangun kesadaran manusia secara ‘utuh’ melainkan --sebagaimana pendapat Paulo Freire-- malah menjadi lembaga untuk menanamkan ideologi pemerintah yang sedang berkuasa agar mereka tetap dapat melanggengkan kekuasaannya tanpa suatu hambatan yang berarti sehingga proses membangun kesadaran manusia dalam lembaga pendidikan dapat berlangsung sekehendak mereka.
Secara fungsional, UN juga tidak pernah berperan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan di Indonesia, sebagaimana dalih lain pemerintah di balik penyelenggaraan UN. Sebabnya, UN selama ini hanya difungsikan sebagai vonis kelulusan peserta didik dan tidak ada follow up untuk pemerataan mutu pendidikan secara substantif atas hasil UN yang notabene fiktif.
Secara konseptual, empiris, maupun konstitusional, ternyata UN tidak menjawab assesment kebutuhan penentuan kelulusan peserta didik, malah memiliki beragam implikasi negatif bagi berbagai pihak, sehingga keberadaannya harus dihapuskan. Polemik permasalahan UN tidak akan selesai hanya dengan sekedar mengganti model assesment hasil belajar peserta didik dengan yang lebih valid sebagaimana telah dibahas di atas, namun lebih dari itu.
Permasalahan kebijakan pendidikan sangatlah kompleks, melibatkan berbagai unsur kepentingan dan aspek politik yang tentunya juga harus diperhatikan. Namun segala permasalahan tersebut akan teratasi bila seluruh elemen pemerintah dan masyarakat mau memurnikan niat mereka dalam mendampingi generasi penerus negeri ini mengenyam pendidikan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengangkat negeri ini dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut.

E. Analisis: Mengelola Evaluasi Pendidikan
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993: 17). Untuk itu, evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara menghafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes (Soedijarto, 1993: 27-29).
Sebagai konsekuensinya, harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain, evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993: 27-29).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UN banyak bertentangan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UN maka selama itu perdebatan dan “ketidakadilan¨ akan terjadi terus di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui (baca: secara riil) berbeda-beda.
Selain itu, salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak (student oriented), artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UN, berarti menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan. Padahal, kenyataannya berbeda!
Evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan.
Sebagaimana dimaklumi, pada umumnya, sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya lulus, di samping juga diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi. Sebagai contoh bahwa UN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai alat pengendalian mutu pendidikan. Artinya, UN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah.
Kemudian, sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sebagai contoh, apa arti seorang anak memperoleh nilai 8 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di raportnya? Apakah itu berarti anak tersebut menguasai pidato dengan baik, dapat menulis puisi, dan mampu berdebat? Informasi nilai yang ada di raport dengan format seperti umumnya saat ini, tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi supaya dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar Bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portofolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini.
Penilaian dengan portofolio memiliki tujuan, untuk memantau kemajuan anak didik dari hari kehari dan untuk mendorong anak didik untuk merefleksi pembelajaran mereka sendiri serta memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan anak didik secara lengkap dan dukungan data dan dokumen yang akurat. Oleh karena itu bukti-bukti hasil karya atau pekerjaan anak didik yang dikumpulkan itu harus relevan dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dimiliki anak didik sesuai tuntutan program kegiatan belajar TK/RA, SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/MA.
Dengan portofolio, guru dapat memantau perkembangan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitudes) para anak didik.
Portofolio digunakan sebagai lampiran dalam memberikan hasil belajar anak didik. Dengan kata lain, portofolio tidak berdiri sendiri tetapi merupakan dokumen pendukung laporan kepada orang tua. Dengan portofolio maka informasi yang diterima orang tua dalam menerima laporan hasil belajar anak lebih lengkap karena disertai dengan dokuman perkembangan hasil belajar. Jadi, penilaian portofolio tidak sekedar penilaian hasil akhir pembelajaran, tetapi juga penilaian terhadap proses belajar yang melibatkan berbagai aspek kemampuannya, seperti kemampuan berfikir kritis, memperhatikan nilai estetika, etika serta praktika yang melibatkan psikomotor peserta didik.

F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas disimpulkan bahwa evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) mempunyai pengertian yang berbeda tetapi di antara keempat istilah tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, bahkan kebanyakan orang menyederhanakan keempat istilah tersebut menjadi istilah penilaian saja. Tujuan penilaian adalah sebagai grading, alat seleksi, bimbingan, alat diagnosis, dan alat prediksi. Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yakni: domain kognitif, afektif, dan psikomotor.
UN yang diberlakukan oleh pemerintah sejatinya merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai alat ukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 1 ayat 20), yang pada kelanjutannya menjadi alat penentu kualitas lembaga pendidikan (sekolah), bukan kelulusan siswa. Tetapi, penyelenggaraan UN yang bersifat sentralistik, menekankan pada segi kognitif dan mengabaikan segi afektif dan psikomotorik, dan sebagai penentu kelulusan siswa bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja.
Demikian pula, diskriminasi yang terjadi pada peserta didik dan mata pelajaran yang diujikan serta berbagai aski kecurangan dalam pelaksanaan UN secara terorganisir dan lain sebagainya jelas merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia (HAM).
Tentu saja, pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan beberapa hari tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan, apalagi dijadikan standar nasional pendidikan Indonesia. Sungguh naif bila dunia pendidikan kita mengedepankan UN dan menafikan proses pembelajaran. Padahal dalam pandangan sebagian masyarakat, entitas pendidikan justru ter-cover dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Adalah rumit mengukur perubahan karakter, pengetahuan, pemahaman dan kualitas siswa "hanya dengan" UN yang kognitif sentris. Perubahan prilaku dan penguasaan kompetensi tidak mungkin diperoleh dengan jalan instan: 3 hari saja!
Kesungguhan pemerintah yang "memaksakan" UN meski telah muncul fatwa MA yang telah mengabulkan judicial review UN agar tidak diberlakukan kembali, memunculkan kesan bahwa untuk bisa lulus, sejatinya seorang siswa tidak perlu masuk kelas dan tidak perlu berproses dalam belajar mengajar yang mengedepankan aspek kognitif, afektif fan psikomotorik dalam kegiatannya. Cukup ikut bimbingan belajar, latihan try out soal ujian tahun-tahun sebelumnya, ikut UN, dan lulus!
Padahal, pendidikan dalam "sistem UN" direduksi menjadi pengajaran. Pengajaran direduksi lagi menjadi "latihan mengerjakan soal/bimbel". Nilai-nilai pendidikan yang mensyaratkan tercapainya aspek koginitif, afektif dan psikomotorik menjadi tidak berdaya dan membudaya di kelas.
Jika sudah demikian, buat apa Ujian Nasional? Lebih baik kita menyerahkan penyelenggaraan ujian kepada masing-masing sekolah, karena tidak dipungkiri, sekolah dan guru lah yang mengetahui secara persis kemampuan para siswanya. Bila kita mau mengembalikan ujian kepada sekolah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah jangan lagi diabaikan. Fungsi guru sebagai "pengajar" ditingkatkan lagi menjadi "pendidik". Sekolah tidak lagi menjadi "lembaga bimbingan belajar (bimbel)" tetapi lebih dari itu menjadi tempat untuk memupuk benih para pembelajar yang berpikiran maju, manusiawi dan bermutu.
Sungguh kita bisa belajar dari kearifan pesantren yang melaksanakan evaluasi pendidikan secara mandiri dan bersifat individual, di mana kualitas santri diukur dari aspek pengamalan ibadah Ipsukomotorik), akhlak (afektif) dan penguasaan keilmuan bidang studi (baca: kitab kuning) (kognitif) yang dipelajari santri. Bukankah orang-orang besar seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid dan lain-lain adalah produk pesantren?. Bukankah pola pembelajaran pesantren telah ditiru oleh lembaga-lembaga pendidikan umum melalui model fullday school? Bukankah model pendidikan pesantren tetap eksis di tengah arus modernisasi? Artinya, untuk melahirkan siswa yang bermutu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara instan seperti Ujian Nasional (UN), tetapi harus melalui cara integral, kontinyu dan berkesinambungan sepanjang proses pembelajaran berjalan.***


DAFTAR PUSTAKA


Agus Suwignyo. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20/06/2008.
Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007
Doni Koesoema A. Penilaian Pendidikan. Kompas. 08/06/2006.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/penilaian-hasil-belajar/
http://mainview. org/artikel_lengkap.php?id=11&artikel=mainview
http://re-searchengines.com/art05-75.html, Tinjau Ulang Ujian Nasional.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15461&cl=Berita
http://www.kaltengpos.com 25/10/07
http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/nasional/ 7.html
http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=124804
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=246271&kat_id=23. Republika. 02/05/2006.
http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Pengamat-Pendidikan-Ujian-Nasional-Langgar-HAM-1655.html
Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.
PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 25 ayat 4
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka.
UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional

Menyoal Buku Teks PAI SMP

MENYOAL MUTU
BUKU TEKS PELAJARAN PAI SMP
YANG DISUSUN OLEH TIM MGMP PAI SMP
KOTA PEKALONGAN

Oleh: Ahmad Ta’rifin

A. Pendahuluan
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMP merupakan mata pelajaran yang dilakukan dengan cara mempelajari, memperdalam serta memperkaya kajian keagamaan dalam berbagai aspek: al-Qur’an, al-Hadis, Aqidah, Akhlak, fiqih dan sejarah Islam. Tujuannya adalah dalam kerangka: (1) menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT; (2) mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang rajin beribadah, cerdas, tanggungjawab, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah dan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam agama sebagai persiapan untuk hidup bermasyarakat.
Buku teks pelalajaran, meski bukan satu-satunya penentu keberhasilan mengajar namun berperan penting sebagai sumber belajar baik bagi guru terlebih lagi bagi siswa. Di antara kriteria buku ajar yang baik adalah buku ajar yang mampu merangsang semangat guru dan siswa untuk mengembangkan wawasan pemikiran serta mampu memberikan modal awal yang berguna sebagai pondasi berpikir dan pengembangan pengayaan pengetahuan melalui sumber-sumber belajar lainnya. Selain itu buku yang baik juga harus mempertimbangkan kemudahan bahasa, cakupan materi dan keragaman daya nalar kritis di masing-masing madrasah.
Meski demikian, banyak buku teks pelajaran yang ditulis tanpa mempertimbangkan aspek/kriteria penulisan buku teks pelajaran yang layak/bermutu, sesuai Permendiknas No 48 tahun 2007 yang telah disetujui oleh Badan Standar nasional Pendidikan (BSNP), termasuk di dalamnya, menurut pembacaan sederhana penulis adalah Buku Teks Pelajaran PAI SMP yang disusun oleh TIM MGMP PAI Kota Pekalongan.

B. Pengertian dan Fungsi Buku Teks PAI
1. Definisi Buku Teks
Buku dalam arti luas mencakup semua tulisan dan gambar yang ditulis dan dilukiskan atas segala macam lembaran papyrus, lontar, perkamen dan kertas dengan segala bentuknya: berupa gulungan, di lubangi dan diikat dengan atau dijilid muka belakangnya dengan kulit, kain, karton dan kayu.
UNESCO pada tahun 1964, memberikan pengertian buku sebagai “Publikasi tercetak, bukan berkala, yang sedikitnya sebanyak 48 halaman”. Sesuai dengan definisi buku di atas, maka buku diartikan sebagai kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi dengan jumlah halaman paling sedikit 48 halaman yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan.
Secara umum, buku adalah karya tulis ilmiah baik hasil tinjauan maupun hasil penelitian yang disusun sedemikian rupa menurut persyaratan tertentu yang ditetapkan dan diterbitkan. Buku dibedakan berdasarkan tujuannya, yaitu: buku teks, buku pegangan, buku saku, dan lain-lain.
Mengenai buku teks, ada beberapa pengertian yang diungkapkan para ahli sebagaimana terdapat dalam Buku Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia, di antaranya:
1. Menurut Quest Hall, buku teks adalah rekaman pikiran rasional yang disusun untuk maksud-maksud dan tujuan-tujuan intruksional.
2. Menurut Lange, buku teks adalah buku standar/buku setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama dan suplemen/tambahan.
3. Menurut Bacon, buku teks adalah buku yang dirancang buat penggunaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi.
4. Menurut Buckingham, buku teks adalah sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran.
Definisi buku teks pelajaran menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005 adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.
Dari beberapa definisi tersebut di atas disimpulkan bahwa buku teks adalah buku pelajaran dalam bidang studi tertentu, yang merupakan buku standar, yang disusun oleh para pakar dalam bidang itu buat maksud dan tujuan-tujuan intruksional, yang diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga dapat menunjang suatu program pengajaran.
Dengan kata lain, buku teks yang berkualitas adalah buku sekolah, buku pengajaran, buku ajar, atau buku pelajaran yang digunakan di sekolah atau lembaga pendidikan dan dilengkapi dengan bahan-bahan untuk latihan, atau lebih tegasnya di sini adalah buku pegangan siswa yang sesuai dengan standar nasional dan sesuai dengan kurikulum yang tersedia.

2. Fungsi Buku Teks
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, buku teks dapat menjadi pegangan guru dan siswa, yang berfungsi sebagai referensi utama atau menjadi buku suplemen/tambahan. Di dalam kegiatan belajar, siswa tak sebatas mencermati apa-apa saja yang diterangkan oleh guru. Siswa membutuhkan referensi atau acuan untuk menggali ilmu agar pemahaman siswa lebih luas sehingga kemampuannya dapat lebih dioptimalkan. Dengan adanya buku teks tersebut, siswa dituntun untuk berlatih, berpraktik, atau mencobakan teori-teori yang sudah dipelajari dari buku tersebut.
Oleh karena itu, guru harus secara cerdas menentukan buku ajar karya siapa yang akan digunakan di dalam pembelajaran. Karena, pada saat guru tepat menentukan buku ajar terbaik, hal tersebut akan berpengaruh besar di dalam proses pembelajaran nantinya. Permendiknas No. 48 tahun 2007 pada bab IV pasal 5 ayat 2 mengemukakan pentingnya pemilihan dan penentuan buku ajar/teks oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan mutu buku teks dan kesesuaiannya dengan standar nasional pendidikan.
Buku teks memainkan peran utama dalam pengajaran bahasa di kelas pada semua jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Hampir setiap guru mempunyai buku teks baik karena disarankan kepada mereka maupun karena keperluan mereka dalam dunia pengajaran.
Sheldon sebagaimana dikutip Ansyari, mengajukan tiga alasan utama mengenai pentingnya penggunaan buku teks oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi kelas sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru.
Alasan lain bagi penggunaan buku teks sebagai berikut:
1) buku teks merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkanwaktu kegiatan program pengajaran;
2) di mata siswa, tidak ada buku teks berarti tidak ada tujuan;
3) tanpa buku teks, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius;
4) dalam banyak situasi, buku teks dapat berperan sebagai silabus;
5) buku teks menyediakan teks pengajaran dan tugas pembelajaran yang siap pakai
6) buku teks merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran;
7) siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku teks dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi;
8) bagi guru baru yang kurang berpengalaman, buku teks berarti keamanan, petunjuk dan bantuan.

C. Rendahnya Mutu Buku Teks Pelajaran di Sekolah
Rendahnya kualitas buku teks/pelajaran yang dipakai di berbagai sekolah disebabkan karena adanya pereduksian terhadap makna pendidikan menjadi pengajaran; kurikulum menjadi RPP; dan ilmu pengetahuan dalam buku pelajaran menjadi LKS. Rangkaian “Pengajaran—RPP—LKS” menjadikan pembelajaran di kelas berjalan hanya untuk memenuhi target jam pelajaran.
Menurut Darmaningtyas, setidaknya ada empat alasan rendahnya kualitas buku teks dari tingkat TK-SMA yang dewasa ini banyak beredar di sekolah-sekolah. Pertama, secara objektif, secara struktur dan nalar berpikir, buku-buku pelajaran kita yang diterbitkan berada di bawah standar sehingga dengan sendirinya akan berdampak buruk pada proses berpikir murid. Kedua, banyak buku pelajaran yang ditulis tidak berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan geografis murid berada, tetapi lebih berdasarkan latarbelakang sosial, budaya dan geografis penulis. Ketiga, isi buku-buku pelajaran dari TK hingga perguruan tinggi umumnya amat bias kelas menengah, bias kota, bias gender dan bias Jawa. Hal ini terutama terjadi pada buku IPS, Sosiologi, Geografi, Antropologi dan Bahasa Indonesia. Sering, conoth atau situasi yang yang digambarkan dalam buku-buku itu adalah situasi kerja kantoran, kelas sosial yang mapan, dan profil seorang ayah yang semuanya berada di Jawa. Keempat, penampilan fisik buku, dari cover hingga penyajian tata letak seringkali berubah setiap tahun, tetapi substansi buku sama saja. Hanya bahasanya yang dibolak-balik.
Tinggi rendahnya kualitas buku selain disebabkan wujud fisik, juga ditentukan oleh isi yang disampaikan penulisnya. Materi/isi buku dianggap berbobot apabila setelah membaca buku tersebut pembaca dapat merasakan suatu nilai tambah ataupun bahan pemikiran yang mengarah pada perbaikan keadaan.
Rendahnya kualitas buku teks di Indonesia, secara umum berbanding balik dengan kualitas buku-buku bacaan yang ditulis oleh para penulis mancanegara. Sebut saja buku Harry Potter karya J.K Rowling dari Inggris, telah dicetak jutaan eksemplar bahkan telah difilmkan di layar lebar yang menyedot jutaan penonton. Demikian pula buku Positive Thinking dan If You Think Can You Can karangan Norman Vincent Peale, The One Minute Manager dan The Heart of Leader karangan Ken Blanchard, dan sebagainya yang terjual jutaan eksemplar di berbagai negara. Kemampuan J.K. Rowling dan penulis lain di atas dalam bercerita membuat karya mereka memiliki kekuatan dalam menghimpun orang untuk mencermati, menikmati, dan mengoleksi, bahkan menjadi acuan ide pembacanya dalam bertindak.
Selama ini, buku Teks PAI yang digunakan di SMP-SMP di Kota Pekalongan adalah buku pelajaran PAI yang disusun oleh Tim MGMP Pendidikan Agama Islam SMP Kota Pekalongan dan diterbitkan oleh CV Sahabat Utama Batang. Pengamatan sederhana penulis terhadap buku-buku teks PAI SMP yang ada di Kota Pekalongan jika dianalisis dengan pembacaan Permendiknas No 48 tahun 2007 yang berisi kriteria kualitas materi/isi, kualitas penyajian dan kualitas kesesuaian dengan kandungan Al-Qur’an nampak kurang bermutu. Pada aspek evaluasi (uji kompetensi) yang dibuat nampak lebih menekankan aspek kognitif ketimbang aspek afektif dan psikomotorik, di samping kurang mencerminkan kepada Standar Kompetensi (SK), Komptensi Dasar (KD) dan indikator hasil penilaian yang ingin dicapai. Artinya, pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah dari TK hingga SMA saat ini dianggap sebagai sains (pengetahuan). Dengan demikian, karakteristik pengajaran dan sistem evaluasinya pun tidak jauh berbeda dengan mata pelajaran IPA, IPS, matematika, dan pelajaran lainnya.
Begitu juga kualitas penyajian pembelajaran nampak sekali tidak koheren, tidak konsisten dan tidak proporsional dalam menguraikan materi-materi yang ada, meski ada kesesuaian dengan kandungan/tema pokok Al-Qur’an yang meliputi Al-Qur’an, hadits, fiqih, aqidah, akhlak, dan sejarah Islam.
Padahal, sebagaimana disepakati bersama, mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) memegang peran paling sentral dalam hal pendidikan moralitas. Ajaran agama, baik yang menyangkut hablun min-Allah (hubungan dengan Allah) maupun hablun min an-Nas (hubungan dengan sesama manusia) sangat kental dengan muatan nilai, moral dan budi pekerti. Jadi, penekanan muatan afektif (nilai, moral) dan psikomotorik (aksi/praktik) dalam buku-buku Pendidikan Agama Islam (PAI) seyogyanya sejajar dengan muatan kognitif (pengetahuan). Demikian pula desain evaluasinya pun seharusnya berbeda dengan mata pelajaran lainnya

D. Aspek Kualitas Buku Pelajaran
Buku dikatakan berkualitas atau layak jika setelah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan memenuhi kriteria kelayakan sebagai sumber belajar di satuan pendidikan dan ditetapkan oleh Menteri. Untuk buku teks muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dinilai kelayakan-pakainya terlebih dahulu oleh dinas pendidikan provinsi berdasarkan standar nasional pendidikan sebelum digunakan oleh pendidik dan/atau peserta didik sebagai sumber belajar di satuan pendidikan.
Menurut Zaenal Muttaqin, buku yang berkualitas adalah buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, disajikan secara menarik dilengkapi dengan gambar dan keterangan-keterangannya, isi buku juga menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan ide penulisannya. Buku pelajaran berisi tentang ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh peserta didik untuk belajar, buku fiksi akan berisi tentang fikiran-fikiran fiksi si penulis, dan seterusnya. Dalam menelaah untuk kepentingan evaluasi dan pengembangan materi pembelajaran, pengamatan (evaluasi) tersebut mencakup: kelayakan isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafikaan.
Dalam tulisan Zaenal Muttaqin yang berjudul Tinjauan terhadap Buku Materi Ajar PAI Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas X dan XI Karangan DR. H. Moh. Matsna, MA., Terbitan Karya Toha Putra Semarang, ia menguraikan kriteria buku dikatakan layak atau berkualitas, yakni:
1. Aspek kelayakan isi, yang terdiri atas:
a. Kesesuaian uraian materi dengan SK dan KD, berupa kelengkapan materi, keluasan materi dan kedalaman materi.
b. Akurasi materi berupa acuan sumber materi, penentuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan, pencantuman contoh dan kasus, penempatan gambar, foto dan ilustrasi, penulisan ayat Al-Qur’an dan transliterasi serta acuan pustaka.
c. Relevansi materi dengan isu-isu terkini seperti gender, HAM, kerukunan antar umat beragama, iptek dan wawasan nasionalisme.
2. Aspek kelayakan penyajian, yang terdiri atas:
a. Kelengkapan penyajian yang terdiri atas bagian awal (sampul, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar/ilustrasi dan daftar lampiran), bagian inti (judul bab, uraian bab, ringkasan bab, latihan/contoh soal untuk bahan evaluasi dan penyertaan gambar/foto sebagai ilustrasi) dan bagian akhir (indeks, glosarium, daftar pustaka dan lampiran).
b. Pendukung peyajian yang terdiri atas kata pengantar, pendahuluan, rujukan/sumber dan identitas pada setiap ilustrasi, daftar indeks (subjek), glosarium, daftar pustaka dan rangkuman.
c. Penyajian pembelajaran yang terdiri atas keruntutan materi, kekoherensian, konsistenasi, keseimbangan/proporsionalitas materi, berpusat pada peserta didik, mendorong kemandirian dalam belajar, mendorong keingintahuan siswa dan memuat evaluasi kompetensi.
3. Aspek tambahan berupa kesesuaian dengan tema-tema pokok kandungan Al-Qur’an berupa tema besar seputar keimanan (aqidah), hukum Islam (syari’ah), etika moral (akhlaq), ritual keagamaan (ibadah) dan pergaulan (mu’amalah).
Dengan melihat kriteria kelayakan atau kualitas suatu buku teks dapat disimpulkan bahwa buku teks dikatakan berkualitas jika sesuai dengan standar nasional pendidikan, baik pada aspek materi/isi, kebahasaan, dan penyajian (kegrafikaan). Untuk buku teks PAI, perlu ditambahkan kriteria kelayakan atau kualitas materi buku yang koheren dengan kandungan pokok ajaran Islam dalam Al-Qur’an, hadits, aqidah, akhlak, fiqih dan sejarah Islam.

E. Bagaimana Mutu Buku Teks Pelajaran PAI SMP yang Disusun Tim MGMP PAI SMP Kota Pekalongan?
Mengingat begitu luasnya aspek penilaian yang menjadi tolak ukur kriteria mutu buku pelajaran PAI tersebut di atas, maka penulis mencoba menyoroti beberapa hal, yang tentunya masih banyak kekurangan karena perlu dieksplorasi lebih lanjut melalui suatu penelitian yang mendalam. Meski demikian, pembacaan penulis terhadap mutu buku PAI ini bisa dijadikan bahan revisi bagi tim penulis PAI MGMP PAI Kota Pekalongan.

1. Mutu Materi Buku Teks PAI SMP
a. Kesesuaian Uraian Materi dengan SK dan KD
Secara umum, uraian materi yang terdapat dalam Buku Teks PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan tersebut, secara umum sudah sesuai dengan SK dan KD, dalam pengertian bahwa di tiap bab sudah dicantumkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang akan dicapai.
Namun jika dihubungkan dengan SK dan KD PAI SMP sebagaimana tercantum dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi , maka terlihat ada semacam ke’tidaknyambungan’ beberapa uraian KD yang ada di buku tersebut dengan KD PAI SMP yang ada di Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi tersebut. Misalnya pada Buku PAI Kelas IX Semester I pada bab 6 dengan SK ”Menerapkan Syariah (Hukum Islam) dalam Kehidupan Sehari-hari,” KD yang dicantumkan hanya satu, yakni: ”Siswa mampu memahami ibadah haji dan umrah”. Padahal dalam Permendiknas tersebut KD yang ingin dicapai siswa ada 2: (1) menyebutkan pengertian dan ketentuan haji dan umrah dan (2) memperagakan pelaksanaan ibadah haji dan umrah.
Adapun yang menyangkut kelengkapan materi berupa keluasan materi dan kedalaman materi, secara umum, Buku Teks PAI SMP ini tidak luas dan cukup dangkal menguraikan materi dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan sebagai penjabaran dari SK dan KD, sehingga menurut penulis, materinya tidak memberikan informasi utuh bagi guru dan siswa untuk mengembangkan materi berikutnya. Jumlah halaman buku yang rata-rata hanya 50-an halaman menjadi pemaklum akan keterbatasan uraian materi dari segi keluasan dan kedalaman.
b. Akurasi Materi
Akurasi materi berupa acuan sumber materi di tiap-tiap bab dan sub bab memang tidak dicantumkan, dalam pengertian Buku Teks PAI SMP ini tidak mencantumkan semacam footnote atau setidaknya sumber bacaan di bagian penutup bab. Padahal penyebutan sumber bacaan yang relevan akan membantu guru dan siswa untuk mencari informasi tambahan sebagai bahan pengayaan wawasan.
Adapun penentuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan tidak akurat. Hal ini terdapat pada bab 1, di mana penentuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan tidak akurasi dengan SK dan KD yang ada. Pada Bab 3 yang menjelaskan tentang hari kiamat, penentuan pokok bahasan dan sub pokok bahasan tidak sesuai dengan SK dan KD yang ada. Di KD tercantum: “Menyebutkan ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Hari Akhir” tetapi pencatuman ayat tentang hari akhir tidak dijadikan pokok bahasan maupun sub pokok bahasan tersendiri. Demikian pula sub pokok bahasan tentang “Peristiwa-peristiwa Setelah Hari Kiamat”; sub pokok bahasan “Balasan Amal Baik dan Buruk”; sub pokok bahasan “Fungsi Beriman kepada Hari Akhir dalam Kehidupan”, juga tidak dicantumkan dalam KD. Demikian juga pada bab-bab lainnya.
Hanya pada bab 7 uraian pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang bisa dikatakan sudah cukup bagus dan akurat, setidaknya dari sudut sistematika. Demikian pula, uraian materi secara umum sudah cukup sinkron antara pembahasan bab utama dengan sub pokok bahasannya.
Adapun mengenai contoh dan kasus, dalam Buku Teks PAI SMP ini tidak dicantumkan satu contoh maupun kasus mulai dari bab 1-7. Demikian pula penempatan gambar, foto dan ilustrasi, buku ini dinilai miskin, sehingga tidak mampu memberi imajinasi kepada siswa tentang gambaran materi yang disampaikan, meski hanya informasi awal untuk dapat dikembangkan oleh guru dan siswa nantinya.
Secara umum, penulisan ayat Al-Qur’an pada buku ini sudah baik, sesuai standar/ketentuan yang ada, walaupun tidak disertai transliterasi serta acuan pustaka pada akhir buku sebagai sumber referensi. Ayat Al-Qur’an dapat dibaca dengan baik, menggunakan format huruf standar Depag. Tetapi penulisan matan hadits pada beberapa tempat masih terdapat kesalahan.
c. Relevansi Materi dengan Isu-isu Terkini
Relevansi materi dengan isu-isu terkini seperti gender, HAM, kerukunan antar umat beragama, iptek dan wawasan nasionalisme tidak disinggung secara jelas (eksplisit) dalam Buku Teks PAI SMP ini. Isu gender sebenarnya bisa dimunculkan ketika membahas bab aqiqah pada bab 5 mengenai jumlah binatang ternak yang harus disembelih untuk aqiqah di mana bayi laki-laki 2 ekor dan bayi perempuan satu ekor.
Isu tentang iptek tidak dibahas dalam buku PAI ini. Mengenai kerukunan dalam beragama, buku ini secara implisit membahasnya, ketika menguraikan materi tasamuh pada bab 4 berdasarkan QS. Al-Kafirun ayat 6. Isu mengenai HAM tidak disinggung secara jelas (eksplisit), tetapi tersirat pada Bab 4 tentang tasamuh mengenai hak dasar manusia untuk memeluk agama, dan hak dasar manusia untuk hidup merdeka sebagaimana diungkap sekilas dalam Bab 7 tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara.
Isu terkini tentang nasionalisme juga sedikit disampaikan pada bab VII tentang masuknya Islam di Nusantara, khususnya ketika membahas Kerajaan Demak dengan Patiunus sebagai rajanya yang melawan Portugis di Maluku dan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar yang melawan penjajahan VOC Belanda.
Dengan melihat data aspek mutu materi di atas melalui pembacaan Permendiknas No 48 tahun 2007, menurut penulis, buku Teks Pelajaran PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan dapat dikatakan kurang bermutu.

2. Mutu Penyajian Buku Teks PAI SMP
a. Kelengkapan Penyajian
Kelengkapan penyajian yang terdiri atas bagian awal (sampul, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar/ilustrasi dan daftar lampiran); dimensi buku cukup proporsional dengan ukuran buku 20×28 cm (ukuran kwarto), desain cover buku cukup sederhana, font yang dipakai cukup proporsional dan standar (Arial 12 untuk bagian isi dan font arial 10 untuk penulisan SK, KD dan indikator. Demikian pula jenis kertas yang memakai kertas koran yang dipercaya menghemat ongkos produksi (yang berpengaruh pada harga buku di pasaran).
Adapun pada bagian inti (judul bab, uraian bab, ringkasan bab, latihan/contoh soal untuk bahan evaluasi secara keseluruhan dinilai cukup baik. Hanya saja, penyajian pada bagian inti ini terasa monoton, karena tidak disertakan gambar/foto sebagai ilustrasi materi yang dibahas. Juga, tidak ada rangkuman di akhir uraian tiap bab sebagai gambaran umum materi yang dibahas. Pada bagian latihan soal (uji kompetensi) terdapat variasi jenis latihan antara pilihan ganda, mengisi titik-titik, menjawab pertanyaan essay dan tugas individu siswa dengan model penugasan yang bermacam-macam. Hanya saja sayangnya pada bagian akhir (indeks, glosarium, daftar pustaka dan lampiran) tidak terdapat indeks, glosarium atau lampiran tertentu, yang ada hanya daftar pustaka dan halaman kosong yang berguna sebagai catatan.
b. Pendukung Penyajian
Pendukung peyajian yang terdiri atas kata pengantar, pendahuluan, rujukan/sumber dan identitas pada setiap ilustrasi, daftar indeks (subjek), glosarium, daftar pustaka dan rangkuman, dinilai tidak memuaskan karena hanya menampilkan kata pengantar dari penyusun tanpa disertai petunjuk penggunaan buku atau hal-hal lain yang dapat memberikan pemahaman lebih terhadap isi buku. Rujukan/sumber, ilustrasi, daftar indeks (subjek), glosarium, daftar pustaka dan rangkuman. Di identitas buku pada bagian awal pun tidak disebutkan mengenai kelayakan buku menurut standar internasional (International Standart Book Number/ISBN) atau sekedar pengantar dari pihak penerbit.
c. Penyajian Pembelajaran
Penyajian pembelajaran yang terdiri atas keruntutan materi, kekoherensian, konsistensi, keseimbangan/proporsionalitas materi, dipandang sudah cukup baik dan cukup memadai setidaknya sebagai bahan ajar modal awal.
Menurut penulis, Buku PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan disusun sesuai standar keruntutan materi serta antara sub pokok bahasan satu dengan sub pokok bahasan lain dalam satu pokok bahasan saling bertautan dan berhubungan (koheren).
Mengenai konsistensi penggunaan istilah, konsep atau kerangka penulisan, menurut peneliti nampaknya tidak konsisten. Pada beberapa bab, seperti bisa dilihat pada bab 1, 2, 3, dan 4 yang menyertakan indikator dalam SK dan KD-nya, tetapi pada bab-bab terakhir (5, 6, dan 7) tidak menyertakan indikator pada SK dan KD yang dibahas. Peta Konsep juga terdapat pada bab 1, 2, 3, 4, dan 7 tetapi tidak terdapat pada bab 5 dan 6. demikian pula terjadi ketidak-proporsionalistas/keseimbangan dalam menguraikan materi: kadang materi diuraikan singkat, kadang diuraikan secara luas meski tidak mendalam.
Jadi secara umum, Buku Teks PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan peneliti nilai belum mampu banyak berbicara secara komunikatif dan inspiratif terhadap siswa sehingga sulit rasanya menilai buku ini akan dapat menggugah rasa keingintahuan siswa jika hanya mengandalkan buku ini saja.
Dengan melihat data aspek penyajian buku di atas melalui pembacaan Permendiknas No 48 tahun 2007, menurut penulis, buku Teks Pelajaran PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan dapat dikatakan kurang bermutu.




3. Kesesuaian Materi Buku Teks PAI SMP dengan Kandungan Al-Qur’an
Kesesuaian isi buku dengan aspek ajaran Islam merupakan aspek tambahan dalam buku teks keagamaan seperti pada PAI, berkaitan penilaian kelayakan/kualitas suatu buku teks.
Pada kurikulum madrasah (MI, MTs, dan MA) yang disusun berdasarkan Permenag No 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan PAI dan Bahasa Arab, materi-materi yang ada dalam PAI dimasukkan ke dalam bidang studi secara terpisah. Ada pelajaran Al-Qur’an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqih, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Sedangkan pada Pada kurikulum sekolah (SD, SMP dan SMA), mata pelajaran keagamaan tersebut di atas dimasukkan ke dalam satu bidang studi bernama Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dengan mengamati buku PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan, peneliti menilai bahwa materi tentang Al-Qur’an, Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Islam tersebut diuraikan dalam masing-masing bab, menyesuaikan SK dan KD yang telah ditentukan pada setiap babnya.
Penguatan materi PAI berdasarkan kandungan Al-Qur’an pada dasarnya dilakukan dalam rangka agar tujuan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam meningkatkan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia (beretika, berbudi pekerti, adil, saling menghargai, dan harmonis) tercapai, baik dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan.
Dengan demikian, tingkat kesesuaian materi Buku Teks PAI SMP yang disusun oleh Tim MGMP PAI Kota Pekalongan dengan kandungan Al-Qur’an setelah melalui penilaian yang terdiri dari 6 aspek, yakni: Al-Qur’an, Hadits, Aqidah, Akhlak, Hukum (Fiqih) Islam, dan Sejarah Islam, dikatakan baik/bermutu.

DAFTAR BACAAN

Ahsan, Reorientasi Kurikulum PAI, www.ahsanblogspot.com

Andra Diah Rahmawati, Kekuatan di Balik Buku, (Jakarta: Majalah MATABACA, Volume 2 No. 12 Agustus 2004.

Ansary Hasan and Esmat Babaii. Universal Characteristics of EFL/ESL Textbooks: A Step Towards Systematic Textbook Evaluation. The Internet TESL Journal, Vol. VIII, No. 2, February 2002. http://iteslj.org, hlm. 2

Darmaningtyas, Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat”, Kompas, 29 Juli 2003.

Ensiklopedi Indonesia (1980), h. 538

H.G. Tarigan dan Djago Tarigan, Buku Teks Bahasa Indonesia. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1986), hlm. 13

http://www.blogger.com/email-post.g?blogID=1287310775425615821&postID=7870295675355711889.

Ibnu Su’ud, “Buku Bagi Peningkatan Kualitas SDM”, (Jakarta: Majalah Mimbar Ulama, 2001), h. 23.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11 Tahun 2005. Lihat juga Permendiknas No. 48 tahun 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Sejarah yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran.

Permenag No 2 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi PAI dan Bahasa Arab di Madrasah.

Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Kurikulum PAI

Permendiknas No. 48 tahun 2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran Sejarah.

Tim MGMP Kota Pekalongan, Pendidikan Agama Islam untuk SMP Kelas VII-IX, (Batang: Penerbit Shabat Utama, tt.).
Zaenal Muttaqin, Telaah Analitik Materi Hadits tentang Kewajiban dan metode dakwah dalam Buku Ajar Qur’an Hadits Madrasah Aliyah, http://izaskia.wordpress.com/2010/05/30/telaah-analitik-materi-hadits-tentang-kewajiban-dan-metode-dakwah-dalam-buku-ajar-qur%E2%80%99an-hadits-madrasah-aliyah/
Zaenal Muttaqin, Tinjauan terhadap Buku Materi Ajar PAI Al-Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas X dan XI Karangan DR. H. Moh. Matsna, MA., Terbitan Karya Toha Putra Semarang , http://izaskia.wordpress.com/2010/03/17/tinjauan-terhadap-buku-materi-ajar-pai-al-quran-hadits-madrasah-aliyah-kelas-x-dan-xi-karangan-dr-h-moh-matsna-ma-terbitan karya-toha-semarang, 17 Maret 2010.