Selasa, 26 Mei 2009

SEKOLAH DAN KEGAGALAN PENDIDIKAN

SEKOLAH DAN KEGAGALAN PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Ta’rifin


Sekolah, oleh sementara masyarakat modern diyakini sebagai satu-satunya media untuk mendapatkan pengetahuan, dan mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri seorang anak. Sekolah juga dipercaya sebagai satu-satunya cara agar masyarakat sekarang dapat menatap hidupnya di masa depan. Berbagai program yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta sering memanfaatkan jasa sekolah dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Oleh karena anggapan yang demikian, maka ketergantungan terhadap sekolah semakin besar.
Menurut Ivan Illich (dalam Omi Intan Naomi, 1999), selama beberapa generasi, kita telah berusaha menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak sekolah atau persekolahan. Tapi sejauh ini usaha itu mengalami kegagalan kandas. Yang didapatkan dari beberapa generasi, hanya pelajaran bahwa kita harus memaksa anak-anak untuk “memanjat tangga pendidikan” yang berujung pada tidak adanya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Yang ada, sekolah hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali “pemanjatan” pendidikan sejak dini. Sisanya hampir pasti gagal
Pengajaran yang diwajibkan di sekolah telah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri; pengetahuan diperlakukan ibarat komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, diterima sebagai harta pribadi oleh yang menerimanya, dan selalu langka di pasaran.
Semua sekolah berkata bahwa mereka membentuk manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Tapi mereka tidak mampu mendidik manusia untuk menuju masa depan. Praksis sekolah-sekolah, pada umumnya hanya menawarkan pendidikan untuk hidup dan bukan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Realita yang ada menunjukkan, kondisi sekolah-sekolah yang ada saat ini telah menjadi sentral terpenting yang menampilkan gaya hidup baru, seperti budaya konsumtif, materialistis dan hedonistik, melalui biaya pendidikan yang begitu tinggi dan sarana yang serba lux, bukan lewat kulitas para lulusan tersebut, melainkan lebih karena orang tua yang memilih membesarkan anak sebagai investasi masa depan.
***
Menurut Malik Fadjar (2001), sekolah merupakan salah satu wahana ampuh dalam membawa bangsa dan negara kepada posisi yang terhormat dan diperhitungkan dalam percaturan bangsa-bangsa dan dunia internasional. Tetapi kenyataanya, sekolah bukan lagi mengambarkan lahan subur tumbuhnya suasana “belajar inovatif” (inovatif learning) punya daya antisipasi dan sekaligus partisipasi. Kalau demikian, bagaimana sekolah mampu membangun masa depan?
Karena masih dipertanyakan, kemudian banyak orang mulai skeptis terhadap sekolah, ketika ternyata, ia tidak mampu berperan mengentaskan berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, berbagai kasus amoral, asosial dan dehumanisme seperti tawuran antar-pelajar, perilaku free sex, narkoba, diskriminasi rasial, pembantaian antar-etnis dan sebagainya, menunjukkan betapa sekolah telah gagal menumbuhkan kepribadian para siswanya menjadi manusia Indonesia yang utuh, yang punya rasa sosial, etika, dan humanisme.
Dalam ruangan yang lebih sempit, sekolah dianggap telah gagal menciptakan para siswa menjadi masyarakat yang “berpendidikan”dan yang “belajar”. Sekolah telah menciptakan kondisi internal, sebagai suatu tempat yang hanya berfungsi sebagai “transit” pengetahuan dari seorang guru kepada anak-anak didiknya.
Berdasarkan kerangka di atas, wajar saja, ketika Andi Hakim Nasution mengusulkan untuk membubarkan sekolah. Kerangka berfikir demikian agaknya dipengaruhi pemikiran Ivan Illich, yang didasarkan pada asumsi, bahwa pendidikan sekolah justru telah menyebabkan polusi fisik, impotensi psikologis, dan polarisasi sosial, yang menurutnya tiga serangkaian penyebab degradasi global dan kesengsaraan dalam kemasan baru (modernised misery).
Degradasi global berlangsung ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang; ketika kesehatan, pendidikan, mobilitas pribadi, kesejahteraan, atau penyembuhan sikologis dilihat sebagai hasil dari jasa atau “pelayanan”, sementara itu, justru ada kecenderungan peningkatan upaya pelembagaan nilai-nilai. Sedangkan kesengsaraan dalam kemasan baru terjadi, ketika birokrasi yang dipercaya mengurusi kesejahteraan rakyat --termasuk di dalamnya pendidikan—menganggap dirinya satu-satunya lembaga yang punya monopoli profesional, politik, dan finansial atas imajinasi sosial denagn menetapkan patokan mengenai apa yang bernilai dan apa yang layak. Monopoli inilah yang menjadi akar modernisasi kemiskinan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda