Selasa, 19 Juli 2011

Memaknai Teori Kebenaran

Memaknai Teori Kebenaran:
Ilmiah dan Non-Ilmiah
Oleh: Ahmad Ta’rifin


Pendahuluan
Pengetahuan selalu mengandung kebenaran. Salah satu syarat penting agar apa yang kita klaim benar-benar merupakan pengetahuan, adalah bahwa apa yang kita klaim itu memang benar. Jadi, pengetahuan selalu mengandung kebenaran dari apa yang diketahui itu. Karena itu, suatu pembicaraan tentang pengetahuan mau tidak mau harus pula menyangkut kebenaran.
Pembicaraan mengenai teori kebenaran dapat diklasifikasikan setidaknya menjadi dua sudut pandang, yaitu: kebenaran ilmiah dan kebenaran non-ilmiah. Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa kebenaran non-ilmiah atau filasat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang.
Contoh menarik adalah kasus patung Kouros yang telah diteliti dan dibuktikan keasliannya oleh puluhan pakar selama lebih dari 1,5 tahun di tahun 1983, bahkan juga dianalisa dengan berbagai alat canggih seperti mikroskop elektron, mass spectrometry, x-ray diffraction, dan sebagainya. Namun beberapa pakar lain (George Despinis, Angelos Delivorrias) menggunakan pendekatan intuitif sebagai ahli geologi dan mengatakan bahwa patung tersebut palsu (terlalu fresh, seolah tidak pernah terkubur, kelihatan janggal). Akhirnya patung itu dibeli dengan harga tinggi oleh museum J. Paul Getty di California dengan asumsi kebenaran ilmiah lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Kenyataan kemudian membuktikan bahwa semua dokumen tentang surat tersebut palsu, dan patung itu dipahat di sebuah bengkel tempa di Roma tahun 1980. Cerita ini menjadi pengantar buku bestseller berjudul Blink karya Malcolm Gladwell yang diterbitkan tahun 2005.

A. Teori Kebenaran Ilmiah
Teori Kebenaran Ilmiah ini ada 4, yaitu: a) teori kebenaran sebagai persesuaian (the correspondence theory of truth); b) teori kebenaran sebagai keteguhan (the coherence theory of truth); c) teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth); dan d) teori perfomatif tentang kebenaran (the performative theory of truth).

1. Teori Kebenaran sebagai Persesuaian
Teori ini sampai tingkat tertentu sudah dimunculkan Aristoteles. Menurut Aristoteles, mengatakan hal yang ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagai ada, atau hal yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi, suatu pernyataan dianggap benar kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam kenyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan, menurut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris karena kebenaran suatu pernyataan, proposisi, atau teori ditentukan oleh apakah pernyataan, proporsi atau teori itu didukung fakta atau tidak.
Contohnya: “Bumi Ini Bulat” adalah suatu pernyataan yang benar karena dalam kenyataannya pernyataan itu didukung atau sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya, salah kalau tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh lain adalah tentang Teori Geosentris, yang menyatakan bahwa bumi ini diam tidak bergerak, dan matahari mengelilingi bumi. Pernyataan ini bisa benar bila kenyataannya demikian. Tetapi di masa belakangan, muncul Teori Heliosentris yang amat berlawanan dengan pandangan Teori Geosentris, bahwa bumi lah yang mengelilingi matahari, karena matahari adalah pusat tata surya. Artinya, Teori Geosentris salah. Pada masa mendatang, bisa jadi Teori Heliosentris dikalahkan oleh teori lain.
Contoh lain: “Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini didalangi oleh pihak ketiga.” Ini benar kalau dalam kenyataannya memang ada pihak ketiga yang mendalangi kerusuhan itu. Contoh lagi: “Mohammad Jibril adalah penyandang dana para teroris dalam pengeboman Hotel Ritz Charlton dan JW Marriot pada tahun 2009.” Tuduhan polisi akan benar kalau kenyataannya memang demikian. Tapi akan salah, bila ternyata penyandang dananya dari pihak lain.
Dengan kata lain, teori ini mau mengatakan bahwa apa yang diketahui oleh subjek sebagai benar harus sesuai atau harus cocok dengan objek, dengan kenyataan yang diklaim oleh si subjek itu. Yang lebih dipentingkan adalah bahwa harus ada kesesuaian dengan realitas. Jadi, apa yang diketahui oleh si subjek memang berkaitan dan berhubungan dengan realitas. Singkatnya, materi pengetahuan yang diungkapkan dan dikandung dalam pernyataan atau proposisi memang sesuai dengan objek atau fakta.
Berkaitan dengan itu, menurut teori ini, suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan realitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul, dan terbukti dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat sehubungan dengan teori ini. Pertama, teori ini sangat ditekankan oleh aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Maka, teori ini sangat menghargai kenyataan yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, teori ini lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.
Kedua, teori ini juga cenderung menegaskan dualitas antara subjek dan objek, antara si pengenal dan yang dikenal. Dengan titik tolak dualitas ini, teori lalu menekankan pentingnya objek bagi kebenaran pengetahuan manusia. Bahkan bagi teori ini, yang paling berperan bagi kebenaran pengetahuan manusia adalah objek. Subjek atau akal budi hanya mengolah lebih jauh apa yang diberikan objek.
Ketiga, dalam kaitan dengan itu, teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suau pengetahuan. Tetapi, bukti ini bukan diberikan secara apriori oleh akal budi. Bukti ini bukan konstruksi akal budi. Bukti ini bukan pula hasil imajinasi akal budi, melainkan adalah apa yang diberikan dan disodorkan oleh objek yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan sebagaimana diungkapkan. Maka, yang disebut sebagai pembuktian atau justifikasi adalah proses menyodorkan fakta yang mendukung suatu proposisi atau hipotesis. Pembuktian atau justifikasi bukan proses validasi yang mau memperlihatkan apakah proposisi yang menjadi kesimpulan telah ditarik secara sahih (valid) dari proposisi tertentu yang telah diterima sebagai benar.
Persoalan yang muncul sehubungan dengan teori ini adalah bahwa semua pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris, oleh kenyataan faktual apa pun, tidak akan dianggap benar. Jadi, misalnya ajaran agama mengatakan, “Tuhan itu Maha Esa dan Maha Kuasa” tidak akan dianggap sebagai suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh bukti empiris tertentu. Karena itu, tidak akan dianggap sebagai pengetahuan. Pernyataan itu hanya akan dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut keyakinan. Demikian pula pernyataan lain seperti, Indonesia menganut sistem pemerintahan demokratis, tidak akan dianggap sebagai kebenaran kalau tidak didukung oleh bukti empiris, oleh fakta adanya demokrasi dalam sistem pemerintahan kita. Oleh karena itu, pernyataan tersebut tidak akan dianggap sebagai pengetahuan. Pernyataan tersebut bisa diajarkan di sekolah, tetapi tidak lagi sebagai pengetahuan. Pernyataan tersebut hanya akan diajarkan dan dipertahankan sebagai sebuah ideologi, yaitu sistem keyakinan atau pernyataan yang mengandung keyakinan bangsa Indonesia.

2. Teori Kebenaran sebagai Keteguhan
Kalau teori kebenaran sebagai persesuaian dianut oleh kaum empiris, maka teori kebenaran sebagai keteguhan dianut oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel, dan yang lainnya. Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.
Bagi kaum rasionalis, pengetahuan tidak mungkin bisa keluar dari pikiran atau akal budi manusia untuk berhadapan langsung dengan realitas, dan dari situ bisa diketahui apakah pengetahuan itu benar atau tidak. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran sebagai keteguhan ini.
Menurut para penganut teori ini, mengatakan bahwa suatu pernyataan atau proposisi benar atau salah adalah mengatakan bahwa proposisi itu berkaitan dan meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain atau tidak. Dengan kata lain, pernyataan itu benar kalau pernyataan itu cocok dengan sistem pemikiran yang ada. Maka, kebenaran sesungguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada. Misalnya: (1) Semua pasti mati. (2) Socrates adalah manusia. (3) Socrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu bahwa (1) Semua manusia pasti mati, dan (2) Socrates adalah manusia. Dalam arti ini, kebenaran (3) sesungguhnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyataannya Socrates mati atau tidak.
Contoh lain: “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” Bagi kaum empiris yang menganut kebenaran sebagai persesuaian, untuk mengetahui kebenaran pernyataan ini, perlu diadakan percobaan dengan memasukkan lilin ke dalam air yang sedang mendidih untuk mengetahui apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak. Bagi kaum rasionalis yang menganut kebenaran sebagai keteguhan, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu kita cukup mencek apakah pernyatan ini sejalan dengan pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Ternyata, pernyataan ini benar karena lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu 60 derajat celcius. Yang berarti, karena arti mendidih pada suhu seratus derajat Celcius, lilin dengan sendirinya mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih. Dengan kata lain, pernyataan “Lilin mendidih kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas. Pernyataan itu benar karena meneguhkan pernyataan lain bahwa lilin adalah bahan parafin yang selalu mencair pada suhu enam puluh derajat Celcius, dan juga sejalan dengan pernyataan lain bahwa air mendidih pada suhu seratus derajat Celcius. Dengan kata lain, pernyataan “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang mendidih” hanya merupakan konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain tadi.
Hal ini dapat dijelaskan secara lain. Ada pernyataan “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” Timbul pertanyaan, “Mengapa?” Atau, “Bagaimana Anda tahu?” Kaum empiris akan mengatakan: “Coba saja, dan buktikan apakah benar atau tidak.” Kaum rasionalis akan menjawab: “Mudah saja. Lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mendidih pada suhu enam puluh derajat Celcius. Sementara air sendiri selalu baru mendidih kalau sudah mencapai suhu seratus derajat Celcius. Maka, kesimpulan logisnya: Lilin pasti dengan sendirinya akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
Dari uraian di atas, bisa dilihat dengan jelas bahwa pertama, teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Dalam hal ini berarti, pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Bagi kaum rasionalis yang menganut teori kebenaran sebagai keteguhan, lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang mendidih sudah merupakan suatu pengetahuan yang kebenarannya sudah diandaikan dan diketahui secara apriori. Sama halnya dengan kebenaran teori inflasi atau hukum penawaran dan permintaan atau teori hubungan timbal balik antara kinerja dengan imbalan (gaji, tunjangan, dana pensiun, dsb.).
Kedua, dengan demikian teori kebenaran sebagai keteguhan lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi: memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proporsi lain yang telah diterima sebagai benar.
Salah satu kesulitan dan sekaligus kebenaran atas teori ini adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan lain tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan lain lagi. Hal ini berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti. Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataannya perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu, kita tidak perlu selalu mencek apakah suatu pernyataan benar dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengendalikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.
Sebagai perbandingan kita dapat membuat pembedaan antara kebenaran empiris dan kebenaran logis sebagai berikut:

Kebenaran Empiris Kebenaran Logis
Mementingkan objek
Menghargai cara kerja induktif dan aposteriori
Lebih mengutamakan pengamatan indra Mementingkan subjek menghargai cara kerja deduktif dan apriori
Lebih mengutamakan penalaran akal budi

Untuk melihat perbedaan antara kedua macam kebenaran di atas, mari kita lihat empat contoh sebagai berikut:
1. (Jika) air lebih berat daripada batu, maka batu tenggalam dalam air.
2. (Jika) air lebih ringan daripada batu, maka batu tenggelam dalam air.
3. (Jika) air lebih ringan daripada batu, maka batu mengambang di atas air.
4. (Jika) air lebih berat daripada batu, maka batu mengambang di atas air.
Dari contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bahwa keempat kesimpulan di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengandung kebenaran empiris, tapi tidak mengandung kebenaran logis.
2. Mengandung kebenaran logis dan kebenaran empiris.
3. Tidak megandung kebenaran logis maupun kebenaran empiris.
4. Mengandung kebenaran logis, tapi tidak mengandung kebenaran empiris.
Jadi, suatu proposisi atau kesimpulan bisa aja benar dari segi logis tapi tidak benar dari segi empiris. Keduanya tidak saling tergantung satu sama lain. Hanya saja, yang dibutuhkan sesungguhnya tidak hanya kebenaran empiris belaka, melainkan juga kebenaran logis dan sebaliknya karena kedua macam kebenaran di atas berat sebelah.
Pentingnya kedua kebenaran ini sangat ditekankan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, sebagaimana telah kita lihat, baik akal budi maupun pancaindra mempunyai peran penting untuk melahirkan pengetahuan manusia. Karena syarat multak bagi adanya pengetahuan adalah kebenaran, Kant pun sangat menekankan baik kebenaran logis yang diperoleh melalui penalaran dengan akal budi maupun kebenaran empiris yang diperoleh dengan bantuan pancaindra yang menyodorkan data-data tertentu.
Pentingnya kedua kebenaran ini secara saling menunjang terutama agar kita tidak terjebak pada silogisme dan retorika kosong. Karena seringkali suatu pernyataan sangat benar dari segi logis tetapi sama sekali tidak didukung oleh fakta empiris. Banyak ahli atau pengamat sosial melontarkan pernyataan yang sangat rasional dan sulit terbantahkan secara logis. Tetapi sama sekali tidak benar karena tidak didukung fakta. Dan inilah yang membuat kita terkecoh. Tetapi sebaliknya pernyataan yang didukung oleh fakta haruslah bisa dijelaskan secara masuk akal untuk menunjukkan keterkaitannya yang rasional. Maka, kebenaran ilmiah haruslah memenuhi kedua kriteria ini: empiris dan rasional.

3. Teori Pragmatis tentang Kebenaran
Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsouf-filosuf pragmatis dari Amerika, seperti John Dewey, Charles S. Pierce dan William James. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang –berdasarkan ide itu– melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain, berhasil atau tidak.
Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang. Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimum 3 penumpang (three in one) ”. Ide tadi benar kalau berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan. Kenyataanya, setelah 3 in 1 diterapkan di Jakarta, jalanan utama masih tetap macet. Artinya, Teori 3 in 1 tidak benar. Lalu, Pemprov DKI Jakarta menggulirkan Teori Busway untuk mengatasi kemacetan. Kenyataannya, Busway justru dianggap sebagai faktor kemacetan jalan raya di Jakarta. Artinya, Teori Busway tidak berguna, berarti tidak benar.
Pierce mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya, kalau ide itu benar, maka ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia.
William James mengembangkan teori pragmatisnya tentang kebenaran dengan berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena itu, pertanyaan penting bagi James adalah kalau suatu ide dianggap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar itu dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah adalah ide yang tidak berguna atau tidak bisa berfungsi membantu memenuhi kebutuhan kita.
Dengan demikian bagi William Jemes, ide yang benar adalah ide yang dalam penerapannya paling berguna dan paling berhasil memungkinkan manusia bertindak atau melakukan sesuatu. Artinya, kalau ide tertentu benar, ide itu akan berguna dan berhasil membantu manusia untuk bertindak secara tertentu. Maka, kebenaran sama dengan berguna atau kebergunaan. Ide yang berguna lalu berarti ide yang benar dan sebaliknya.
Ini berarti pula, suatu ide yang benar akan memungkinkan kita dan menuntun kita untuk sampai pada kebenaran, atau memungkinkan kita untuk sampai pada apa yang diklaim dalam ide atau pernyataan tersebut. Contohnnya, ide tentang kinerja sebagai berbanding lurus dengan reward. Ide ini benar kalau naiknya jaminan bagi pekerja ternyata meningkatkan kinerja atau produktivitas pekerja. Benar, dengan demikian, sama artinya dengan berfungsi, berlaku, ide yang benar adalah ide yang berfungsi dan berlaku membantu manusia bertindak secara tertentu secara berhasil. Maka, menurut John Dewey dan William James, ide yang benar sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara berhasil.
Kebenaran yang terutama ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know-how). Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan kita berhasil memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Dalam hal ini, kaum pragmatis sesungguhnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi mereka suatu kebenaran apriori hanya benar kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memungkinkan manusia bertindak secara efektif. Demikian pula, tolak ukur kebenaran suatu ide bukanlah realitas statis, melainkan realitas tindakan. Jadi, keseluruhan kenyataan yang memperlihatkan kebergunaan ide tersebut
Bagi John Dewey, kalau kita mau memahami apa pengaruh, dan juga kebenaran, suatu ide atas pengalaman dan kehidupan kita, kita harus melihat bagaimana ide tersebut berlaku dan berfungsi dalam penggunaannya, yaitu bagaimana ide tersebut membantu kita memecahkan berbagai persoalan hidup kita. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukanlah benar tidaknya suatu ide secara abstrak. Melainkan, sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan-persoalan praktis yang muncul dalam kehidupan kita dan keidupan masyarakat sehari-hari. Sejauh mana kita dapat memecahkan persoalan dalam realitas kehidupan kita dengan menggunakan ide-ide itu. Maka, bagi kaum pragmatis, ide yang benar bukanlah demi ide begitu saja, melainkan demi kehidupan manusia. Konsekuensinya, semakin berguna sebuah ide untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis, maka ide itu akn dianggap paling benar.
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar kalau ide ini berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yang memuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, janan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman manusia.
Berkaitan dengan itu, kebenaran pragmatis mencakup pula kebenaran empiris (kesesuaian dengan kenyataan). Hanya saja lebih radikal sifatnya, karena kebenaran pragmatis tidak hanya sesuai dengan kenyataan melainkan juga pernyataan yang benar (yaitu yang sesuai dengan kenyataan yang tadi), itu memang dalam kenyataan berguna bagi manusia.
Kebenaran bagi kaum pragmatis juga berarti suatu sifat yang baik. Maksudnya, suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Oleh karena itu, William James menolak memisahkan kebenaran dari nilai moral. Kebenaran merupakan sebuah nilai moral karena dengan kebenaran manusia sampai pada sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu secara berhasil. Maka, William James menolak kebenaran rasionalitas yagn hanya memberi definisi-definisi yang abstrak tanpa punya relevansi bagi kehidupan praktis. Dari sudut pandang ini, kloning manusia tidak dibenarkan, karena tidak berguna bagi manusia, meski secara filosofis (rasional) dan empiris benar.
Tentu saja yang dimaksud di sini adalah bahwa kebenaran rasional jangan hanya berhenti di situ saja. Melainkan, perlu diterapkan sehingga sungguh-sungguh berguna bagi manusia. Atas dasar itu, kita tidak hanya membutuhkan “pengetahuan bahwa” dan “pengetahuan mengapa” tapi juga “pengetahuan bagaimana.”

4. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini terutama dianut oleh filosuf seperti Frank Ramsey, John Austin, dan Peter Strawson. Filosuf-filosuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun, justru inilah yang ingin ditolak oleh filosuf-filosuf ini.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya: “Dengan ini, saya mengangkat kamu menjadi Walikota Pekalongan.” Dengan pernyataan itu, tercipta sebuah realitas baru, realitas kamu sebagai Walikota Pekalongan.
Di satu pihak, teori ini dapat dipakai secara positif, dengan pernyataan lain dapat pula dipakai secara negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu orang berusaha mewujudkan apa yang dinyatakannya. “Saya bersumpah akan menjadi suami yang setia, atau istri yang setia dalam keadaan suka maupun duka.” Tetapi, secara negatif, orang dapat pula terlena dengan pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan atau ungkapan tersebut sama dengan realitas begitu saja. Misalnya, “Saya berdoa agar kamu berhasil”. Seolah-soal dengan pernyataan itu ia berdoa, padahal tidak, atau, “Saya bersumpah, saya berjanji akan setia.” Seakan-akan benar demikian, padahal tidak. Demikian pula, “Indonesia adalah negara hukum.” “Kita menganut sistem Demokrasi Pancasila.” “Para pejabat adalah para Pancasilais.” Kita semua bisa terjebak dengan pernyataan-pernyatan ini seolah-olah dengan pernyataan-pernyataan ini tercipta realitas seperti yang dinyatakan. Padahal apa yang dinyatakan belum dengan sendirinya menjadi realitas.
Contoh lain, untuk mengatasi langganan banjir, Pemprov DKI Jakarta sedang membebaskan tanah warga dalam rangka proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang diharapkan selesai tahun 2010. Lalu, Gubernur memberikan pernyataan, “Dengan BKT, Jakarta akan bebas banjir.” Pernyataan itu, ketika memunculkan realitas baru, yakni Jakarta bebas banjir, maka benar secara performatif. Tapi ketika masih banjir, maka dianggap salah. Setelah proyek BKT berjalan misalnya, dan ternyata bebas banjir, maka kebenarannya menjadi pragmatis, karena BKT bermanfaat mencegah banjir di Jakarta.
Contoh lagi, untuk mencegah karya seni dan budaya Indonesia dijarah negeri jiran, Malaysia, khususnya batik (yang menjadi ciri khas Kota Pekalongan), pemerintah mengintruksikan agar “hendaknya para desainer atau perajin batik mencantumkan label/merek/nama atau made in Indonesia dalam karyanya dan mendaftarkan hak paten ke UNESCO.” Ketika instruksi itu menciptakan realitas baru sesuai dengan proposisi yang ada, maka dikatakan benar. Tetapi ketika Malaysia masih terus menjarah kain batik sebagai budaya mereka, maka berarti instruksi tersebut tidak memunculkan realitas baru. Artinya, tidak benar.

B. Teori Kebenaran Non-Ilmiah
Di samping kebenaran ilmiah, ada juga kebenaran lain, yakni: kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat. Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran/logika dan empiris, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah. Beberapa di antaranya:

1. Kebenaran Karena Kebetulan
Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah.

2. Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense)
Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.
Teori Geosentris yang muncul melalui dugaan para filosuf Yunani kuno, dianggap benar ketika itu hingga abad ke-16 M, meski belakangan dibantah oleh pendukung Heliosentris. Hal yang sama terjadi pada Teori Evolusi yang dimunculkan oleh Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, itu berasal dari dugaan Darwin saja, dan dianggap benar untuk beberapa abad. Belakangan, Teori Evolusi justru bertentangan dengan bukti-bukti ilmiah.

3. Kebenaran Agama dan Wahyu
Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan pancaindra manusia, tapi sebagian hal lain tidak. Informasi-informasi ghaib yang ada dalam Al-Qur’an, misalnya tentang nikmat dan siksa kubur, dilihat dari kacamata kebenaran ilmiah tentu tidak benar. Tetapi, orang Islam berpendapat nikmat dan siksa kubur pasti benar adanya, melalui kebenaran agama/wahyu yang sifatnya sam’iyyat.
Informasi-informasi ilmiah dari Al-Qur’an yang datang 15 abad lalu berkenaan proses embriologi manusia di alam rahim ibu, terjadinya awan, dan lain-lain, pada masa dulu kebenarannya dianggap tidak ilmiah, tetapi pembuktian dengan teknologi canggih di abad ke-20 menjadikan kebenaran informasi tersebut yang datang dari agama atau wahyu menjadi perantara kebenaran ilmiah.

4. Kebenaran Intuitif
Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif karena didasarkan pada perasaan, sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan Museum Getty di atas, yang ternyata setelah melalui banyak perhitungan ilmiah, justru yang dibenarkan adalah berdasarkan kebenaran intuisi.

5. Kebenaran Karena Trial dan Error
Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi. Pada beberapa kasus, produk-produk penemuan ilmiah yang kita kenal dewasa ini seperti listrik, lampu pijar, mobil, elektronik, pesawat terbang, dan lain-lain ditemukan oleh para penemunya melalui perantaraan teknik trial and error (coba-salah).

6. Kebenaran Spekulasi
Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error. Metode ini biasanya dipakai oleh orang-orang yang terjun di dunia bisnis. Ketika benar, ya dikatakan benar secara spekulasi, tidak ilmiah; ketika salah ya dikatakan salah.

7. Kebenaran Karena Kewibawaan
Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah. Kebenaran kewibawaan juga bisa muncul karena performance seseorang. Misalnya, kebanyakan anak kecil, takut terhadap orang yang tampangnya tinggi besar dan seram. Meski tentu saja bisa jadi, justru ia orang yang lembut atau pemalu.

C. Sifat Dasar Kebenaran Ilmiah
Seperti telah dikatakan pada bagian sebelumnya, bahwa yang dibutuhkan bukan hanya kebenaran logis melainkan juga kebenaran empiris. Juga bukan hanya kebenaran empiris melainkan juga kebenaran logis. Diharapkan pula bahwa kebenaran ilmiah yang logis dan empiris itu pada akhirnya dapat diterapkan dan digunakan bagi kehidupan manusia.
Atas dasar ini, kita dapat mengatakan bahwa kebenaran ilmiah selalu mempunyai paling kurang tiga sifat dasar sebagai berikut: struktur: rasional-logis; isi: empiris, dan hasil: dapat diterapkan (pragmatis).
Pertama, yang dimaksudkan dengan struktur kebenaran ilmiah yang rasional-logis, adalah bahwa kebenaran ilmiah selalu dicapai berdasarkan kesimpulan logis dan rasional dari proposisi atau premis-premis tertentu. Proposisi-proposisi ini dapat saja berupa teori atau hukum ilmiah yang sudah terbukti benar dan diterima sebagai benar atau dapat pula mengungkapkan data atau fakta baru tertentu.
Dengan demikian, proposisi yang menjadi kesimpulan yang dianggap benar dapat diperoleh melalui deduksi atau melalui induksi. Kalau dicapai melalui deduksi, itu berarti kesimpulan tersebut diperoleh sebagai konsekuensi logis dari proposisi tertentu yang dianggap benar. Proposisi yang dianggap benar ini dipakai sebagai asumsi teoritis. Kalau dicapai melalui proses induksi, berarti yang dilakukan adalah suatu proses generalisasi yang mengungkapkan hubungan tertentu di antara berbagai fakta yang telah ditemukan.
Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, semua orang yang rasional, yaitu yang dapat menggunakan akal bidangnya secara baik, bisa memahami kebenaran ilmiah ini. Atas dasar ini, kebenaran ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran yang berlaku universal. Artinya, proposisi, kesimpulan, atau teori yang diterima sebagai benar, tidak hanya benar bagi orang tertentu tetapi benar bagi semua orang yang dapat menggunakan akal budinya secara baik.
Salah satu catatan yang perlu diberikan di sini adalah bahwa sifat rasional perlu dibedakan dari sifat “masuk akal” (reasonable). Sifat rasional terutama berlaku bagi kebenaran ilmiah. Sementara sifat “masuk akal” ini terutama berlaku bagi kebenaran tertentu yang berada di luar lingkup ilmu pengetahuan. Contohnya, tindakan marah, menangis, dan semacamnya dapat sangat masuk akal walaupun mungkin tidak rasional. Atau, “Banyak anak, banyak rezeki.” Pernyataan ini bisa dianggap tidak rasional karena banyak anak seringkali dikaitkan dengan kemiskinan. Tetapi, dalam lingkungan sosial ekonomi tertentu, pernyataan ini dapat sangat “masuk akal” karena dalam pola keluarga luas semakin banyak anak semakin banyak tenaga kerja yang bisa menopang kehidupan seluruh keluarga.
Kedua, sifat empiris dari kebenaran ilmiah mau mengatakan bahwa bagaimana pun juga kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada. Bahkan, sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris dalam di dunia ini.
Ini tidak berarti bahwa tidak ada spekulasi dalam ilmu pengetahuan. Spekulasi itu tetap ada. Tetapi, sampai tingkat tertentu, spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai riil atau tidak karena kendati suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
Ketiga, sifat pragmatis terutama mau menggabungkan kedua sifat kebenaran di atas. Dalam arti, kalau sebuah pernyataan dianggap benar secara logis dan empiris, pernyataan tersebut juga harus berguna dalam kehidupan manusia, yaitu berguna untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidup manusia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda