Selasa, 19 Juli 2011

MENIMBANG ULANG UJIAN NASIONAL (UN)

MENIMBANG ULANG UJIAN NASIONAL
Oleh:
Ahmad Ta’rifin, MA

Abstrak:
Sejak tahun akademik 2003/2004, pemerintah menyelenggarakan UN pada lembaga pendidikan dasar dan menengah. Meski seharusnya UN dilaksanakan dalam kerangka mengukur indeks mutu sekolah, pada kenyataanya UN telah disalah-fungsikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan peserta didik. Padahal, UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Artinya, UN telah inkonstitusional. Demikian juga, UN tidak memenuhi stan2dar validitas dan reliabilitas penilaian hasil belajar peserta didik karena selama enam tahun pelaksanaannya tidak mampu mengukur kualitas pendidikan nasional. Selain itu, pelaksanaan UN di lapangan yang memunculkan diskriminasi terhadap terhadap mata pelajaran tertentu, dan diskriminasi hasil belajar siswa, serta berbagai kecurangan yang ada menjadikan UN dianggap bertentangan dengan HAM.

Kata Kunci: Ujian Nasional, Validitas, Reliabilitas, Inkonstitusional, HAM.
A. Pendahuluan
Umur Ujian Nasional tidak panjang, hanya 6 tahun! Itu pun kalau tahun depan (2010), pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan UN di sekolah. Pemberlakuan UN sebagai cara untuk menentukan kelulusan siswa SLTP dan SLTA memang telah dikalahkan oleh putusan Fatwa MA yang mengabulkan judicial review seorang wali murid sebuah SLTA di Depok Jawa Barat, agar UN dihentikan pelaksanaannya karena bertentangan dengan HAM.
Berdasar pengamatan penulis, pada kenyataannya, setelah UN diselenggarakan lebih dari enam kali sejak tahun akademik 2003/2004, itu pun dengan standar nilai kelulusan yang sangat minim (tahun 2006:4.00; 2007:4.25; 2008:4.50) dan masih diterapkannya sistem konversi (baca: katrol) nilai, penulis mulai ragu terhadap i'tikad baik pemerintah untuk menjadikan UN sebagai standar kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan pendidikan nasional.
Pertama, alat pengukur dikatakan valid apabila bisa mengukur sesuai dengan ukurannya, seperti kilogram (kg.) untuk mengukur berat; meter untuk mengukur jarak, dan lain-lain. Demikian halnya UN akan bisa dinilai sebagai alat ukur jika secara keseluruhan mampu mengatasi persoalan mutu pendidikan. Hal ini bisa diindikasikan dengan adanya perubahan mutu siswa/lulusan, antara sebelum dan sesudah pelaksanaan UN. Jika tidak, maka UN tidak dapat dijadikan standar. Tetapi jika ada perubahan positif, maka UN bisa dijadikan standar mutu pendidikan.
Kedua, alat ukur dikatakan reliabel manakala bisa dipercaya sebagai alat ukur. Standar meter sebagai alat ukur jarak, sama di belahan dunia manapun. Demikian juga kilogram, bisa dipercaya sebagai standar berat internasional. Maka, jika hasil UN berjalan secara konsisten, ditandai dengan adanya peningkatan mutu pendidikan secara konsisten dan berlaku (berjalan) lama, maka UN bisa dijadikan sebagai alat pengukur standar mutu pendidikan nasional.
Pertanyaannya, apakah UN yang telah berjalan 6 tahun ini telah menunjukkan dirinya sebagai alat ukur pendidikan nasional yang valid dan reliabel? Mungkinkah hanya dengan tiga bidang studi --tahun 2009 empat bidang studi-- (Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan Bahasa Inggris untuk tingkat SLTP), UN bisa dijadikan representasi bagi puluhan bidang studi lainnya dan alat pengukur mutu pendidikan?
Agaknya kebanyakan kita sepakat untuk menjawab tidak. Apalagi, jika dikaitkan dengan persoalan kompetensi, yang saat ini diyakini sebagai orientasi mutu pendidikan nasional. Tentu, di sini kita menemukan sebuah paradoks. Satu sisi, pemerintah mensentralisasi pelaksanaan UN dengan 3 atau 4 bidang studi saja, sementara dari sisi lain, kompetensi siswa sesuai keahlian masing-masing diabaikan. Bagaimana dengan siswa yang hebat dalam pelajaran agama sementara lemah dalam Bahasa Inggris misalnya. Atau bagaimana nasib siswa yang kuat dalam bidang matematika tetapi lemah dalam pelajaran Bahasa Indonesia?

B. Memahami Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment)
Banyak orang mencampuradukkan antara istilah evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu. Penilaian (assesment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/).
Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut. Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas. Tetapi keempat istilah diatas mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/).

1. Tujuan Penilaian
Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, di antaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
a. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).
b. Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
c. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.
d. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
e. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.

2. Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Ketiga domain yang mencakup berbagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences), kini menjadi orientasi daripada kompetensi mutu pendidikan. Artinya, ketiga domain/ranah tersebut hendaknya menjadi orientasi hasil belajar secara komprehensif, tidak parsial, sebagaimana terjadi dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini.

C. Mengukur Validitas dan Reliabilitas Ujian Nasional (UN)
Dengan memahami evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) sebagaimana tersebut di atas, maka Ujian Nasional (UN) dikategorikan sebagai means daripada ends. Means didefinisikan sebagai alat dan prosedur, solusi, serta strategi yang ditempuh untuk mencapai ends yang diinginkan, sementara ends adalah hasil yang didapatkan setelah menyelesaikan aplikasi strategi atau teknik tertentu. Sebab itulah, yang seharusnya menjadi penting untuk dipertanyakan adalah bukan bagaimana pihak-pihak yang terkait dapat mengimplementasikan Ujian Nasional (UN) dengan baik, melainkan apakah Ujian Nasional (UN) tersebut sudah menjadi alat yang tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah (http://re-searchengines.com/).
Kegagalan dalam menentukan apa-apa yang harus dicapai sebelum menentukan bagaimana cara untuk mencapainya dipastikan akan menyia-nyiakan hal-hal yang sangat berharga, seperti waktu, sumber daya, dan juga akan berakibat fatal bagi peserta didik. Oleh karena itu, perlu dilakukan assesment kebutuhan mengenai penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah terlebih dahulu, sebelum mengakhiri dengan kesimpulan bahwa Ujian Nasional (UN) adalah alat yang tepat atau tidak tepat dalam mencapai tujuan penentuan kelulusan pada pendidikan tingkat dasar maupun menengah tersebut (http://re-searchengines.com/).
Bila diamati secara mendalam, tujuan penentuan lulus-tidaknya peserta didik dari suatu lembaga pendidikan adalah untuk mengetahui, sejauhmana peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu yang diharapkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah menguasai kompetensi tertentu melalui kegiatan pembelajaran pada lembaga pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, hanya oleh pendidik tentunya. Sebab pihak yang paling mengetahui perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan hanyalah pendidik. Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 58 ayat 1 bahwa: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dengan melakukan pengamatan harian terhadap perkembangan kompetensi peserta didik secara berkesinambungan, maka pendidik akan mendapatkan hasil assesment yang lebih valid. Secara normatif proses evaluasi belajar siswa seharusnya telah dimulai sejak awal tahun belajar, sehingga hasil evaluasi lebih bersifat komprehensif (http://www.republika.co.id.Republika.02/05/2006)..
Hasil assesment tersebut tentunya akan menunjukkan sejauh mana kemampuan pendidik dalam membantu peserta didik untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang dipelajarinya melalui kegiatan belajar mengajar. Utomo Dananjaya berpendapat bahwa idealnya, assesment hasil belajar peserta didik memiliki 2 fungsi:
Pertama memperbaiki proses kegiatan belajar-mengajar. Dalam hal ini proses evaluasi memungkinkan guru dan birokrasi pendidikan mendapatkan umpan balik dari peserta didik atas proses pendidikan yang telah dilaksanakan. Sehingga, guru sebagai tenaga pendidik memiliki referensi yang akurat atas perkembangan kemampuan peserta didik dalam proses belajar. Dengan demikian, guru dapat merumuskan pola-pola belajar dan kurikulum yang tepat dalam meningkatkan kemampuan si peserta didik ((http://mainview. org/artikel_lengkap.php).
Fungsi kedua adalah mengetahui kemajuan belajar siswa. Dengan proses evaluasi, guru dan birokrat pendidikan dapat mengetahui kemajuan belajar siswa dari sisi individual. Guru dan birokrat pendidikan kelak dapat memberikan suatu penghargaan bagi siswa yang mengalami kemajuan positif sehingga ia merasa bangga atas kemampuannya. Sebaliknya, guru memberikan perhatian lebih bagi mereka yang mengalami kemunduran dalam proses belajar. Sehingga si peserta didik mendapat bimbingan untuk meningkatkan kemampuan belajarnya (http://mainview. org/artikel_lengkap.php).
Hasil assesment terhadap hasil belajar peserta didik dapat juga digunakan sebagai pertimbangan apakah peserta didik tersebut telah menguasai sejumlah kompetensi tertentu pada level tertentu, sehingga peserta didik yang bersangkutan dapat melanjutkan pada level pendidikan yang lebih tinggi dari level sebelumnya. Sehingga bila hasil assesment peserta didik masih belum memenuhi kompetensi yang diharapkan, maka pendidik yang bersangkutan harus berusaha memperbaiki kemampuannya dalam mendampingi peserta didik hingga peserta didik tersebut berhasil mencapai kompetensi tertentu yang diharapkan.
Di Finlandia yang memiliki sistem pendidikan terbaik sedunia, assesment terhadap hasil belajar peserta didik digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan kinerja lembaga pendidikan dalam mendampingi peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Bahkan target pencapaian kompetensi peserta didik tidak dilakukan oleh pemerintah dengan pemberlakuan standar tertentu seperti di Indonesia, melainkan ditentukan oleh peserta didik sendiri sehingga tugas pendidik hanyalah mendampingi peserta didik dalam mencapai kompetensi yang diinginkannya. Hal tersebut yang ternyata menjadi pemacu peserta didik dalam belajar sehingga tidak mengherankan bila prestasi peserta didik asal Finlandia adalah yang terbaik di dunia berdasarkan beragam survey internasional.

1. Ujian Nasional: Inkonstitusional
Diketahui bahwa UN yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 1 ayat 20). Ironisnya, hasil dari UN yang hanya dilakukan selama beberapa hari (3 atau 4 hari) ini difungsikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan peserta didik dalam menguasai kompetensi tertentu yang dipersyaratkan oleh pemerintah berdasarkan kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh peserta didik selama bertahun-tahun. Pengadaan UN sebagai alat assesment hasil belajar peserta didik oleh pemerintah adalah pelanggaran terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja. Sangatlah tidak logis bila pemerintah yang tidak terlibat langsung dengan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar pada lembaga pendidikan, secara tiba-tiba dengan semena-mena melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik.
Selain pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, tentu saja soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini melalui BSNP, tidak sinergis dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diikuti oleh peserta didik. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda, karena sekolah telah menerapkan KTSP. Secara prinsip, UN yang sentralistis bertentangan dengan KTSP yang desentralistis. Dan lagi, pemberlakuan UN sebagai alat assesment hasil belajar peserta didik telah menginjak-injak hak pendidik dan otoritas sekolah dalam implementasi KTSP. Pemberlakuan keduanya secara bersamaan adalah bentuk inkonsistensi kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah (http://re-searchengines.com/).
Penyelenggaraan UN mulai dari prasyarat keikutsertaan peserta didik dalam UN hingga kriteria kelulusan peserta didik dari UN ternyata diserahkan pemerintah pada lembaga yang seolah-olah independen dan tidak termasuk dalam elemen pemerintah yang dikenal dengan nama BSNP (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP, pasal 67, 69, dan 71). Walaupun dalam kenyataannya di lapangan lembaga ini tidak benar-benar independen, sebab dari proses pembentukannya saja sudah terlihat tidak independen. BSNP dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada Mendiknas, jadi tidak ada bedanya memang, antara pemerintah dengan BSNP, karena keduanya berada pada pihak yang sama (sama-sama pihak yang merupakan representasi dari pemerintah). Payung hukum otoritas penyelenggaraan UN pada BSNP dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP menjadi batal hukum dengan sendirinya sebab secara hierarkis bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang memuat bahwa assesment hasil belajar peserta didik hanya dapat dilakukan oleh pendidik (http://re-searchengines.com/).
Kewenangan pemerintah dalam melakukan assesment terhadap hasil belajar peserta didik dipertanyakan payung hukumnya, sebab kewenangan tersebut memang tidak diberikan pada pemerintah sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Apalagi penyelenggaraan UN oleh pemerintah sebagai alat untuk melakukan assesment hasil belajar peserta didik dan alat ukur kelulusan, jelas-jelas tidak berdasar hukum dan inkonstitusional (Tilaar, 2004). Hal yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah adalah assesment terhadap kinerja lembaga pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 78 (Tilaar: 2004).

2. Ujian Nasional: Pelanggaran Terhadap HAM
Pemberlakuan UN sebagai alat kelulusan peserta didik sangat bertentangan dengan HAM yang mengakui hak warganegara untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam bidang pendidikan. Sebagaimana pendapat Utomo Danandjaja, penetapan standar kelulusan memiliki ideologi diskriminatif sebab telah mengkotak-kotakkan ‘kelas’ yang terpisah antara siswa yang cerdas dan yang kurang cerdas (http://www.vhrmedia.com/). Sebab, hasil UN tersebut digunakan peserta didik untuk mendaftar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Peserta didik yang hasil UN-nya tinggi akan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit yang dianggap lebih berkualitas dan sebaliknya, peserta didik yang hasil UN-nya kurang tinggi akan ‘dibuang’ ke sekolah-sekolah pinggiran yang berkualitas rendah. Padahal setiap peserta didik berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas (UU No.20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1), malahan peserta didik yang dianggap ‘kurang’ memiliki hak untuk didampingi secara lebih intensif oleh pendidik dan bukannya ‘dihukum’ untuk memasuki sekolah yang kualitasnya malah ‘kurang’ sehingga peserta didik makin terpuruk.
Belum lagi, pengadaan Ujian Paket C yang dijadikan sebagai sarana ujian remidial oleh pemerintah malah semakin membuat kesenjangan yang lebar antara peserta didik yang dianggap pandai versi UN dan versi Ujian Paket C sehingga akan semakin menambah beban psikologis peserta didik (http://www.hukumonline.com/). Sebab akan terjadi dikotomi antara ijazah pendidikan formal dengan ijazah pendidikan Paket C yang tidak selalu diterima oleh PT maupun dunia kerja karena masih dipandang sebelah mata.
Diskriminasi yang timbul akibat pemberlakuan UN ini sangat bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah meniadakan diskriminasi. Dan diskriminasi terhadap peserta didik yang terjadi dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan berpotensi membunuh rasa percaya diri peserta didik ini tidak terjadi di Finlandia. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak membuat sistem rangking, apalagi membuat label tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah pada peserta didiknya (Budi Suwarna, Kompas: 12/11/2007). Peserta didik yang mereka bahasakan sebagai ‘peserta didik yang agak lambat belajar dibandingkan dengan peserta didik lainnya’ malah diberikan pendampingan intensif oleh sekolah tentunya dengan pendidik yang memiliki kualitas didik lebih, sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Diskriminasi yang terjadi tidak hanya pada peserta didik namun juga terjadi pada mata pelajaran. Ada kesenjangan prioritas antara mata pelajaran yang diujikan dalam UN dengan yang tidak diujikan dalam UN, sebab tidak semua mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik pada lembaga pendidikan diujikan dalam UN. Jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN juga berubah-ubah setiap tahunnya. Pada UN tahun 2008 lalu, mata pelajaran yang diujikan dalam UN SMA berjumlah 6 mata pelajaran, sementara UN SMK tetap 3 mata pelajaran, untuk UN SMP bertambah 1 mata pelajaran menjadi 4 mata pelajaran, dan UN SD tetap 3 mata pelajaran (http://www.kaltengpos.com 25/10/07).
Perubahan jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN adalah tindakan yang diambil BSNP terkait banyaknya masukan mengenai diskriminasi antara mata pelajaran yang diujikan dan tidak dujikan dalam UN. Namun, tindakan BSNP tersebut tetap saja tidak dapat meniadakan diskriminasi yang terjadi akan prioritas mata pelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Para pendidik di sekolah peserta didik tentunya juga akan lebih mempersiapkan peserta didiknya dalam menghadapi sejumlah mata pelajaran tertentu saja yang akan diujikan dalam UN (http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/)
Seto Mulyadi menilai bahwa pelaksanaan UN justru bisa membuat peserta didik tidak belajar selama belum mendekati waktu UN dan cenderung hanya memprioritaskan belajar pada saat menjelang UN (http://www.liputan6.com/news/). Secara tidak langsung, melalui kebijakan UN, pemerintah telah menentukan bahwa sejumlah mata pelajaran tertentu lebih penting dari sejumlah mata pelajaran lainnya, tanpa alasan yang jelas. Imbasnya, peserta didik, pendidik, orang tua, maupun masyarakat secara luas akan membangun paradigma yang sama dengan pemerintah. Sebagai contoh, dengan tidak diujikannya mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan, maka mata pelajaran tersebut dianggap tidak penting dibandingkan dengan mata pelajaran Matematika maupun Bahasa Inggris yang diujikan dalam UN, sehingga pendidik maupun peserta didik tidak akan mempelajari mata pelajaran Agama maupun Pendidikan Kewarganegaraan dengan sungguh-sungguh. Walaupun secara logis diketahui bahwa mempelajari kedua mata pelajaran tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan pada kecerdasan afektif peserta didik.
Menurut Doni Koesoema, model soal pilihan ganda yang digunakan dalam UN juga menimbulkan dampak psikologis yang akan mematikan unsur kreativitas dan inisiatif peserta didik. Sebab peserta didik diharuskan memilih opsi-opsi jawaban yang sudah tersedia pada lembar jawabannya, tanpa diijinkan untuk mengembangkan daya kreasinya. Model soal pilihan ganda dengan jawaban pasti ini juga akhirnya menimbulkan budaya instan pada proses pembelajaran peserta didik, sehingga pendidik pun menyelenggarakan pembelajaran dengan model drilling yang menuntut peserta didik untuk sekedar menghapal jawaban-jawaban yang sudah pasti. Para peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan tampak meningkatkan intensitas belajarnya bila waktu UN semakin dekat. Hal tersebut juga didukung dengan sekolah mereka yang semakin banyak memberikan jam pelajaran tambahan hanya untuk drilling soal-soal UN. Bahkan tidak sedikit sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan lembaga bimbingan belajar untuk mengadakan try out soal-soal UN (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006).
Inilah yang dibanggakan pemerintah bahwa motivasi belajar siswa menjadi meningkat dengan diselenggarakannya UN. Padahal, apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai robot. Peningkatan intensitas kegiatan belajar mengajar tersebut terjadi karena adanya stimulus dari luar, yang dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan karena sangat tidak manusiawi (Doni Koesoema, Kompas: 08/06/2006). Bahkan, menurut Seto Mulyadi, belajarnya peserta didik untuk menghadapi UN yang semata karena takut dihukum ini merupakan bentuk lain kekerasan terhadap anak (http://www.liputan6.com/news/). Hukuman yang dimaksud tentunya adalah diskriminasi peserta didik dengan stempel ‘lulus dan pandai’ bagi peserta didik yang nilai UN-nya tinggi dan sebaliknya.
Selain hanya mengukur tingkat kekuatan hapalan para peserta didik secara kognitif, UN mengabaikan kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik dengan tidak melakukan assesment secara komprehensif terhadapnya. Model UN tersebut jelas-jelas tidak sejalan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif (PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP Pasal 25 ayat 4). Padahal menurut Benjamin S. Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan (Moh. Yamin, http://jawabali.com/pendidikan/22/04/2008). Bila seorang peserta didik cerdas secara kognitif atau intelektual, belum tentu ia memiliki kecerdasan perilaku secara afektif. Sehingga model UN yang hanya mengukur tingkat kekuatan hapalan para peserta didik secara kognitif ini, tidak dapat secara sewenang-wenang memberikan kategori ‘siswa pandai’ terhadap peserta didik yang memiliki hasil UN tinggi dan sebaliknya.
Kualitas soal UN juga menjadi pertanyaan yang tidak kalah penting. Sebab UN yang hanya berlangsung selama beberapa jam tersebut hanya memberikan gambaran sesaat terhadap kemampuan peserta didik pada taraf kognitif, yang tentunya sangat amat bergantung pada kualitas soal yang diujikan dalam UN. Walaupun Depdiknas menyatakan bahwa dasar penyusunan soal-soal UN adalah standar kompetensi lulusan (SKL) dan materinya merupakan irisan dari kurikulum 1994, 2004, dan KTSP (Moh. Yamin, http://jawabali.com/pendidikan/22/04/2008), namun hal tersebut tidak menjamin kualitas soal. Bahkan publik mempertanyakan mengapa BSNP tidak pernah mengumumkan hasil uji reliabilitas dan validitas soal-soal UN yang diujikan (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008).
Belum lagi implementasi KTSP yang menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah satu dengan sekolah lainnya, tentu akan sangat menyulitkan para pembuat soal dalam membuat soal UN yang sesuai dengan apa yang dipelajari oleh masing-masing peserta didik. Ditemukannya banyak kasus peserta didik yang dinyatakan tidak lulus UN padahal telah diterima di PT sangatlah mengejutkan. Secara logika, bagaimana mungkin seseorang telah dinyatakan siap belajar di PT sementara dinyatakan belum siap meninggalkan jenjang pendidikan menengah? (Agus Suwignyo, Kompas: 20/06/2008).
Hal ini mengindikasikan adanya ‘ketidaksambungan kualitas’ antara soal UN SMA dengan ujian masuk PT yang berarti bahwa tidak ada kesinambungan antar jenjang pendidikan. Jikalau demikian, terlihat jelas bahwa baik tidaknya nilai UN peserta didik yang digunakan sebagai penentu kelulusan peserta didik pada jenjang pendidikan menengah tidak ada relevansinya dengan partisipasi peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Sehingga nilai UN tersebut akhirnya menjadi sia-sia belaka.

D. Kaji Ulang Ujian Nasional (UN)
Dikaji dari berbagai segi, UN tidak layak menjadi penentu kelulusan peserta didik, bahkan tidak ada relevansinya dengan peningkatan mutu pendidikan. Anehnya, UN tetap diselenggarakan oleh pemerintah, meskipun penyelenggaraan UN dihujani oleh protes dari berbagai kalangan masyarakat. Bila dipahami secara mendalam, sebenarnya penyelenggaraan UN ini adalah cara pengukuran instan pemerintah untuk mendapatkan pengakuan bahwa mutu pendidikan di negeri ini meningkat seiring dengan dinaikkannya standar nilai minimal untuk kelulusan.
Secara empiris terbukti, bahwa tidak ada relevansi antara penyelenggaraan UN dengan peningkatan mutu pendidikan, namun alibi pemerintah yang tidak berdasar ini terus diwacanakan pada publik sebab UN diyakini sebagai cara termudah untuk mendapatkan kebanggaan akan peningkatan mutu pendidikan, sekalipun hasil UN tersebut telah mereka manipulasi dengan berbagai modus operandi kecurangan dalam penyelenggaraan UN.
Kebanggaan fiktif pemerintah akan keberhasilan mereka dalam meningkatkan mutu pendidikan yang telah mereka rekayasa melalui hasil UN ini ternyata juga bukan satu-satunya keuntungan. Kebijakan UN adalah bentuk hegemoni pemerintah terhadap kalangan grassroot (baca: sekolah, guru, dan peserta didik). Kurikulum yang tidak diaplikasikan secara konsisten serta masuknya UN di tengah otonomi pendidikan merupakan dikte yang terkadang lebih tragis dari kebijakan penjajah mengontrol pendidikan.
Menurut Prellezo, cara neokolonisasi ini bekerja begitu halus dan licik dalam mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dan penyelenggaraan UN yang dari berbagai segi telah mematikan kreatifitas dan inisiatif peserta didik serta meneror mereka secara psikologis, adalah cara teraman bagi pemerintah untuk melanggengkan hegemoninya terhadap rakyat yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Lembaga pendidikan formal tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang dapat membangun kesadaran manusia secara ‘utuh’ melainkan --sebagaimana pendapat Paulo Freire-- malah menjadi lembaga untuk menanamkan ideologi pemerintah yang sedang berkuasa agar mereka tetap dapat melanggengkan kekuasaannya tanpa suatu hambatan yang berarti sehingga proses membangun kesadaran manusia dalam lembaga pendidikan dapat berlangsung sekehendak mereka.
Secara fungsional, UN juga tidak pernah berperan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan di Indonesia, sebagaimana dalih lain pemerintah di balik penyelenggaraan UN. Sebabnya, UN selama ini hanya difungsikan sebagai vonis kelulusan peserta didik dan tidak ada follow up untuk pemerataan mutu pendidikan secara substantif atas hasil UN yang notabene fiktif.
Secara konseptual, empiris, maupun konstitusional, ternyata UN tidak menjawab assesment kebutuhan penentuan kelulusan peserta didik, malah memiliki beragam implikasi negatif bagi berbagai pihak, sehingga keberadaannya harus dihapuskan. Polemik permasalahan UN tidak akan selesai hanya dengan sekedar mengganti model assesment hasil belajar peserta didik dengan yang lebih valid sebagaimana telah dibahas di atas, namun lebih dari itu.
Permasalahan kebijakan pendidikan sangatlah kompleks, melibatkan berbagai unsur kepentingan dan aspek politik yang tentunya juga harus diperhatikan. Namun segala permasalahan tersebut akan teratasi bila seluruh elemen pemerintah dan masyarakat mau memurnikan niat mereka dalam mendampingi generasi penerus negeri ini mengenyam pendidikan yang pada akhirnya bertujuan untuk mengangkat negeri ini dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut.

E. Analisis: Mengelola Evaluasi Pendidikan
Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993: 17). Untuk itu, evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara menghafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes (Soedijarto, 1993: 27-29).
Sebagai konsekuensinya, harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain, evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993: 27-29).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UN banyak bertentangan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UN maka selama itu perdebatan dan “ketidakadilan¨ akan terjadi terus di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui (baca: secara riil) berbeda-beda.
Selain itu, salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak (student oriented), artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UN, berarti menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan. Padahal, kenyataannya berbeda!
Evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan.
Sebagaimana dimaklumi, pada umumnya, sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya lulus, di samping juga diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Jika UN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi. Sebagai contoh bahwa UN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai alat pengendalian mutu pendidikan. Artinya, UN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah.
Kemudian, sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sebagai contoh, apa arti seorang anak memperoleh nilai 8 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di raportnya? Apakah itu berarti anak tersebut menguasai pidato dengan baik, dapat menulis puisi, dan mampu berdebat? Informasi nilai yang ada di raport dengan format seperti umumnya saat ini, tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi supaya dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar Bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portofolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini.
Penilaian dengan portofolio memiliki tujuan, untuk memantau kemajuan anak didik dari hari kehari dan untuk mendorong anak didik untuk merefleksi pembelajaran mereka sendiri serta memberikan informasi kepada orang tua tentang perkembangan anak didik secara lengkap dan dukungan data dan dokumen yang akurat. Oleh karena itu bukti-bukti hasil karya atau pekerjaan anak didik yang dikumpulkan itu harus relevan dengan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang harus dimiliki anak didik sesuai tuntutan program kegiatan belajar TK/RA, SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/MA.
Dengan portofolio, guru dapat memantau perkembangan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitudes) para anak didik.
Portofolio digunakan sebagai lampiran dalam memberikan hasil belajar anak didik. Dengan kata lain, portofolio tidak berdiri sendiri tetapi merupakan dokumen pendukung laporan kepada orang tua. Dengan portofolio maka informasi yang diterima orang tua dalam menerima laporan hasil belajar anak lebih lengkap karena disertai dengan dokuman perkembangan hasil belajar. Jadi, penilaian portofolio tidak sekedar penilaian hasil akhir pembelajaran, tetapi juga penilaian terhadap proses belajar yang melibatkan berbagai aspek kemampuannya, seperti kemampuan berfikir kritis, memperhatikan nilai estetika, etika serta praktika yang melibatkan psikomotor peserta didik.

F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas disimpulkan bahwa evaluasi, pengukuran, tes dan penilaian (assessment) mempunyai pengertian yang berbeda tetapi di antara keempat istilah tersebut mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, bahkan kebanyakan orang menyederhanakan keempat istilah tersebut menjadi istilah penilaian saja. Tujuan penilaian adalah sebagai grading, alat seleksi, bimbingan, alat diagnosis, dan alat prediksi. Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yakni: domain kognitif, afektif, dan psikomotor.
UN yang diberlakukan oleh pemerintah sejatinya merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai alat ukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 1 ayat 20), yang pada kelanjutannya menjadi alat penentu kualitas lembaga pendidikan (sekolah), bukan kelulusan siswa. Tetapi, penyelenggaraan UN yang bersifat sentralistik, menekankan pada segi kognitif dan mengabaikan segi afektif dan psikomotorik, dan sebagai penentu kelulusan siswa bertentangan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 ayat 1 yang menyatakan bahwa assesment hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik saja.
Demikian pula, diskriminasi yang terjadi pada peserta didik dan mata pelajaran yang diujikan serta berbagai aski kecurangan dalam pelaksanaan UN secara terorganisir dan lain sebagainya jelas merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia (HAM).
Tentu saja, pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan beberapa hari tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan, apalagi dijadikan standar nasional pendidikan Indonesia. Sungguh naif bila dunia pendidikan kita mengedepankan UN dan menafikan proses pembelajaran. Padahal dalam pandangan sebagian masyarakat, entitas pendidikan justru ter-cover dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Adalah rumit mengukur perubahan karakter, pengetahuan, pemahaman dan kualitas siswa "hanya dengan" UN yang kognitif sentris. Perubahan prilaku dan penguasaan kompetensi tidak mungkin diperoleh dengan jalan instan: 3 hari saja!
Kesungguhan pemerintah yang "memaksakan" UN meski telah muncul fatwa MA yang telah mengabulkan judicial review UN agar tidak diberlakukan kembali, memunculkan kesan bahwa untuk bisa lulus, sejatinya seorang siswa tidak perlu masuk kelas dan tidak perlu berproses dalam belajar mengajar yang mengedepankan aspek kognitif, afektif fan psikomotorik dalam kegiatannya. Cukup ikut bimbingan belajar, latihan try out soal ujian tahun-tahun sebelumnya, ikut UN, dan lulus!
Padahal, pendidikan dalam "sistem UN" direduksi menjadi pengajaran. Pengajaran direduksi lagi menjadi "latihan mengerjakan soal/bimbel". Nilai-nilai pendidikan yang mensyaratkan tercapainya aspek koginitif, afektif dan psikomotorik menjadi tidak berdaya dan membudaya di kelas.
Jika sudah demikian, buat apa Ujian Nasional? Lebih baik kita menyerahkan penyelenggaraan ujian kepada masing-masing sekolah, karena tidak dipungkiri, sekolah dan guru lah yang mengetahui secara persis kemampuan para siswanya. Bila kita mau mengembalikan ujian kepada sekolah, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah jangan lagi diabaikan. Fungsi guru sebagai "pengajar" ditingkatkan lagi menjadi "pendidik". Sekolah tidak lagi menjadi "lembaga bimbingan belajar (bimbel)" tetapi lebih dari itu menjadi tempat untuk memupuk benih para pembelajar yang berpikiran maju, manusiawi dan bermutu.
Sungguh kita bisa belajar dari kearifan pesantren yang melaksanakan evaluasi pendidikan secara mandiri dan bersifat individual, di mana kualitas santri diukur dari aspek pengamalan ibadah Ipsukomotorik), akhlak (afektif) dan penguasaan keilmuan bidang studi (baca: kitab kuning) (kognitif) yang dipelajari santri. Bukankah orang-orang besar seperti Nurcholis Madjid, Gus Dur, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid dan lain-lain adalah produk pesantren?. Bukankah pola pembelajaran pesantren telah ditiru oleh lembaga-lembaga pendidikan umum melalui model fullday school? Bukankah model pendidikan pesantren tetap eksis di tengah arus modernisasi? Artinya, untuk melahirkan siswa yang bermutu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara instan seperti Ujian Nasional (UN), tetapi harus melalui cara integral, kontinyu dan berkesinambungan sepanjang proses pembelajaran berjalan.***


DAFTAR PUSTAKA


Agus Suwignyo. Ujian Nasional 2008: Kembali ke Tengah. Kompas. 20/06/2008.
Budi Suwarna. Belajar dari Sistem Pendidikan Finlandia. Kompas. 12/11/2007
Doni Koesoema A. Penilaian Pendidikan. Kompas. 08/06/2006.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/01/penilaian-hasil-belajar/
http://mainview. org/artikel_lengkap.php?id=11&artikel=mainview
http://re-searchengines.com/art05-75.html, Tinjau Ulang Ujian Nasional.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15461&cl=Berita
http://www.kaltengpos.com 25/10/07
http://www.korantempo.com/news/2005/2/3/nasional/ 7.html
http://www.liputan6.com/news/?c_id=3&id=124804
http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=246271&kat_id=23. Republika. 02/05/2006.
http://www.vhrmedia.com/vhr-news/berita,Pengamat-Pendidikan-Ujian-Nasional-Langgar-HAM-1655.html
Moh. Yamin. UN-UASBN, Makhluk Menakutkan. http://jawabali.com/pendidikan/un-uasbn-makhluk-menakutkan/ 22/04/2008.
PP No.19 Tahun 2005 tentang SNP pasal 25 ayat 4
Soedijarto. 1993. Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan dan Bermutu.Jakarta: Balai Pustaka.
UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda