Selasa, 19 Juli 2011

MEMBANGUN PEMBELAJARAN HUMANISTIK

MEMBANGUN PEMBELAJARAN HUMANISTIK
DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Ta’rifin

Pola pembelajaran humanistik di lembaga pendidikan persekolahan ternyata harus dibangun. Hal ini dikarenakan, selama ini, pendidikan kita lebih mengedepankan otoriteristik dalam proses pembelajaran. Otoriteristik ini terealisasi dalam bentuk teacher oriented/guru-sentris, yang menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran dan satu-satunya sumber pengetahuan; sebaliknya, menempatkan peserta didik bagai celengan yang siap ditabung oleh gurunya. Inilah apa yang disebut ahli pendidikan multikultural terkemuka dari Brazil, Paulo Freire, sebagai pendidikan “gaya bank” (banking system). Proses pembelajaran yang demikian membuat peserta didk menjadi manusia-manusia yang kehilangan daya kemanusiaannya (dehumanisme). Membangun interaksi humanistik dalam proses pembelajaran harus dimulai dari kedua belah pihak (guru-murid). Tidak ada lagi pola otoriter, top-down, pemaksaan dan penindasan terhadap peserta didik. Yang berlangsung dalam interaksi tersebut adalah kesadaran guru dan murid untuk berdialog, bermitra, menghadapi masalah bersama, dan sebagainya. Bila ini dilakukan, maka para peserta didik kita akan menjadi manusia utuh yang inovatif, kreatif, handal, mandiri dan manusiawi.

A. Pendahuluan
Saat ini, pendidikan kita tengah mengalami pergeseran paradigma, termasuk paradigma proses pembelajaran. Paradigma baru proses belajar mengajar adalah menjadikan siswa sebagai pusat belajar (student oriented). Konsep ini muncul sebagai bentuk penentangan pengajaran gaya lama, yang menjadikan guru sebagai pusat belajar (teacher oriented) (Syaukani HR, 2006: 3).
Konsep teacher oriented pada prakteknya telah menjadikan guru sebagai seorang “raja/diktator” di kelas. Ia bebas berbuat apa saja melebihi kewenangannya tanpa mempertimbangkan aspirasi dari para muridnya. Kritikan dari murid tidak dianggap sama sekali (Lihat Paul Suparno, 2004: vi). Guru menjadikan murid-muridnya sebagai calon manusia yang “baik”, “penurut”, “sopan” dan mengikuti kehendaknya, sehingga memperteguh asumsi bahwa guru adalah seorang otoriter. Tentu, hal ini tidak kondusif bagi terciptanya dialogika pendidikan. Tradisi kreatif, inovatif, kritis dan demokratis dipastikan tidak akan pernah muncul dari proses pembelajaran demikian.
Paulo Freire, tokoh pendidikan terkemuka asal Brasil, menyebut pembelajaran teacher oriented dengan istilah pembelajaran gaya bank. Karena guru menempatkan diri di hadapan murid-muridnya seperti seorang penabung yang menabungkan uangnya di bank ((Freire: 2000, 59). Proses pembelajaran demikian menjadikan “belajar” bukan sebagai proses belajar dalam arti sebenarnya (learning process), tetapi sekedar proses pengajaran (teaching process), di mana hanya terjadi proses transformasi pengetahuan (transfer of knowledge) dari seorang guru, sementara muridnya cukup duduk dengan tenang, mendengarkan, menulis dan menghapal pengetahuan yang disampaikan sang guru.
Sementara itu, gaya baru pembelajaran yang muncul sebagai penolakan gaya lama (teacher oriented), yakni gaya pembelajaran student oriented, dalam implementasinya, dinilai terlalu jauh terjebak pada euforia kebebasan murid dalam proses pembelajaran di kelas. Sehingga yang terjadi, murid tidak lagi memakai nalar etikanya sebagai seseorang yang butuh kepada guru. Guru, dalam proses pembelajaran student oriented memang menjadi mitra murid-muridnya. Tetapi, tidak berarti kemudian, mereka menjadikan guru hanya sebagai fasilitator dan mediator semata. Ia tetaplah seorang murid yang secara emosional membutuhkan guru. Dalam makna leksikalnya, murid berarti seseorang yang membutuhkan kepada guru.
Dalam konsep pendidikan Islam, seperti dituturkan Ahmad Hassan, guru terkemuka Persis, guru adalah seseorang yang harus dihormati dan dipanuti (A. Hassan, 1993). Seorang murid harus menghormati guru di depan dan di belakangnya, pandai mengambil hatinya dan bertingkah laku yang bisa membuat sang guru senang hatinya. Karena, guru tidak akan mentransformasikan ilmunya kecuali dalam keadaan senang. Seorang murid yang tidak mempunyai penghormatan dan etika kepada gurunya, lanjut A. Hassan, dipastikan ilmunya tidak bermanfaat (A. Hassan, 1993).
Berkaitan implikasi student oriented yang tidak tersistem dengan baik, ada asumsi yang menyebutkan, maraknya tindakan kontra-produktif pendidikan yang terjadi satu dasawarsa belakangan ini yang dilakukan oleh para peserta didik kita seperti tawuran antar pelajar, narkoba, seks bebas di areal sekolah/kampus dan berbagai kenakalan remaja lainnya, disebabkan karena tidak terkendalinya para peserta didik dari jangkauan guru; tidak ada lagi penghormatan dan penghargaan murid terhadap seorang guru, sebaliknya guru acuh terhadap apa yang terjadi pada seorang murid (Lihat H.A.R. Tilaar, 1999: 74-75).
Dari sinilah kemudian berkembang pemikiran, bagaimana agar student oriented dengan learning process-nya dapat berjalan baik, tetapi tidak mengabaikan posisi dan fungsi guru sebagai pendidik, sehingga terjadi interaksi dan simbiosa mutualisma antara keduanya.
Tulisan ini berusaha memberikan langkah baru dalam mensintesiskan dan menjembatani dua proses pembelajaran tersebut agar terjalin jembatan hati antara guru dan murid, sehingga konsep ilmu bermanfaat dapat terwujud dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata “guru” dan “murid” dalam pengertian umum (termasuk di dalamnya dosen dan mahasiswa). Juga kata “sekolah” untuk menunjukkan makna lembaga pendidikan formal dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (PT).
B. Teorisasi Guru dan Murid
1. Guru
Guru adalah orang yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu guru harus mampu membawa siswanya kepada tujuan yang ingin dicapai dari proses pembelajaran.
Secara etimologi, kata “guru” berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya mengajar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 288). Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar (John M. Echols dan Hassan Shadily, 2003: 581). Selain itu, terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran; educator, pendidik, ahli didik (Ibid: 207); lecturer, pemberi kuliah, penceramah (Ibid: 353) dan sebagainya. Dalam rurabasa bahasa Jawa, guru berarti orang yang “digugu dan ditiru” (didengarkan dan diteladani).
Dalam pengertian terminologi, guru berarti orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. UUSPN No. 20/2003 pada Bab XI tentang Tenaga Kependidikan, Pasal 39 ayat 3 secara tegas menyatakan, bahwa guru adalah “Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen”.
Ahmad Tafsir menyatakan, guru adalah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid; biasanya guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah (Ahmad Tafsir, 1992: 75).
Bagi Sardiman AM (2001), guru merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan dalam proses pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang potensial dalam pembangunan bangsa ini.
Karena begitu signifikannya guru bagi proses pembangunan bangsa, maka sudah sepatutnya pemerintah menempatkan guru sebagai institusi/tenaga profesional yang “dihargai”. Sebagai tenaga profesional, guru tidak semata-mata berperan sebagai “pengajar” yang mentransfer pengetahuan (transfer of knowledges) saja, tetapi juga sebagai “pendidik” yang mentransfer nilai-nilai (transfer of values) dan sebagai “pembimbing” (counselor) yang memberikan pengarahan dan menuntun siswanya dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran nanti seorang guru diharapkan mampu menempatkan dirinya sebagai seorang demokrat, fasilitator, mitra dan mediator bagi para siswanya.
2. Murid
Secara etimologi, kata “murid” berasal dari bahasa Arab, `arada, yuridu iradatan, muridan, yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian semacam ini dapat dimengerti, karena seorang murid adalah seseorang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya dengan cara belajar bersungguh-sungguh.
Murid merupakan individu yang langsung mengalami proses pembelajaran. Murid dididik oleh pengalaman belajar mereka, dan kualitas pendidikanya bergantung pada pengalamannya, kualitas pengalaman-pengalaman, sikap-sikap, termasuk sikapnya pada pendidikan.
Pendapat lama mengatakan, bahwa murid adalah objek pendidikan. Pendapat ini amat dipengaruhi oleh konsep Tabularasa yang mengibaratkan anak didik sebagai kertas putih kosong yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh para guru/pengajarnya. Dalam konsep ini, murid diposisikan secara pasif, seolah-olah benda mati; mau dijadikan apa saja terserah gurunya. Sebaliknya guru amat dominan, ibarat raja/penguasa diktator dalam kelas.
Sedangkan pendapat baru menempatkan murid sebagai subyek pendidikan, yang memiliki tujuan dan ingin meraih-cita-citanya secara optimal. Murid sendiri-lah yang menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikannya. Jadi yang diperhatikan pertama kali dalam proses pembelajaran adalah murid, baru komponen pendidikan yang lain.
Hal tersebut senada dengan Paul Suparno (2004: 3) yang menyatakan, tugas guru di era Otonomi Pendidikan ini sudah berubah, dari yang hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada para peserta didik berubah menjadi fasilitator yang membantu agar peserta didik sendiri belajar dan menekuni bahan pelajaran. Jadi, paradigmanya bergeser dari guru aktif dan siswa pasif menuju siswa aktif dan guru sebagai fasilitator siswa (Paul Suparno 2004: 3). Atau dalam bahasa Whitehead, pendidikan harus memberikan ruang lebih banyak pada aspek keterlibatan peserta didik (Marcel J. Mandagi, 1999).
C. Paradigma Baru Proses Pembelajaran
Pendidikan yang dikatakan sebagai usaha pembentukan manusia yang bertanggungjawab dan demokratis adalah normatif dalam perumusannya; sedangkan proses interaksi pendidikannya adalah suatu proses teknis. Di dalam proses teknik inilah secara spesifik proses belajar mengajar berlangsung. Proses belajar mengajar merupakan proses kegiatan interaksi antara dua unsur manusiawi, yakni murid sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai pihak yang mengajar.
Secara umum, proses belajar mengajar (interaki edukatif) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: memiliki tujuan, ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, ditandai penggarapan materi secara khusus, ditandai dengan aktivitas, ada guru yang berperan sebagai pembimbing, membutuhkan disiplin dan ada batas waktu untuk pencapaian tujuan serta memerlukan kegiatan evaluasi.
1. Dari Interaksi Dehumanistik Menuju Interaksi Humanistik
Hubungan guru dengan murid dalam proses pembelajaran merupakan faktor yang sangat menentukan. Betapapun baiknya materi pelajaran yang diberikan dan sempurnanya metode yang dipergunakan; apabila interaksi guru dan murid tidak harmonis akan dapat menciptakan hasil (result) pembelajaran yang tidak diinginkan.
Dalam interaksi ini, salah satu caranya adalah adanya contact hours atau jam-jam bertemu antara guru-murid; yang hakekatnya merupakan kegiatan di luar jam-jam presentasi di muka kelas seperti biasanya. Untuk tingkat perguruan tinggi peranan contact hours ini sangat penting sekali. Pada saat contact hours ini, dapat dikembangkan komunikasi dua arah, sehingga terjalinlah interaksi humanistik yang dapat membantu meningkatkan keberhasilan pembelajaran murid. Interaksi humanistik antara guru dan murid, lebih lanjut ditujukan agar murid kelak menjadi human people, yaitu manusia yang memiliki kesadaran untuk memperlakukan orang lain dengan penuh respek dan martabat (dignity) (Syaukani HR, 2002: 85).
Interaksi humanistik yang merupakan konsep baru pola hubungan guru-murid dalam proses pembelajaran --yang mengedepankan sikap demokratis dan transparansi guru; keaktifan, kemandirian dan keinovatifan murid; keramahan guru dan kesantunan murid; dan saling hormat menghormati-- berusaha mengeliminasi kecenderungan otoriter guru sebagai warisan birokrasi yang feodalistik, sikap ketertutupan dan keangkuhan seorang guru, serta kepasifan peserta didik.
Dalam bahasa Paulo Freire, “interaksi humanistik” ini sejalan dengan konsep pendidikan (baca: proses pembelajaran) problem possing (hadap masalah), yang berusaha menjadikan para peserta didiknya sebagai seorang humanis; yang dapat mengembangkan kemampuannya untuk memahani secara kritis diri dan kehidupannya; yang menegaskan peserta didik sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi (becoming) untuk menuju kesempurnaan dalam realita yang tidak pernah selesai (Paulo Freire, 2000: 66-70) .
Konsep pendidikan “hadap masalah” dimunculkan Freire sebagai lawan konsep pendidikan (proses pembelajaran) “gaya bank” (banking system), yang pada realitanya telah membentuk peserta didik sebagai manusia ‘bisu”, tidak komunikatif; memberikan ruang gerak pasif kepada para siswanya hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan informasi pelajaran, sehingga memunculkan daya dehumanisasi pada peserta didik (Paulo Freire, 2000: 59) .
Secara umum, ada 10 ciri-ciri interaksi pembelajaran dalam konsep pendidikan gaya bank seperti ditulis Freire:
1. Guru mengajar, murid diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. guru berfikir, murid difikirkan
4. guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5. guru menentukan peraturan, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid mnyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran tersebut
9. Guru mencampur-adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, untuk menghalangi kebebasan muridnya
10.Guru adalah subyek dalam proses pembelajaran, murid adalah obyek belaka (Ibid)..
Konsep pendidikan gaya bank, lebih jauh menganggap pengetahuan sebagai anugerah yang dihibahkan oleh seorang guru (orang yang dianggap berpengetahuan) kepada para murid (yang dianggap tidak berpengetahuan apa-apa). Tidaklah mengherankan kemudian, apabila konsep pendidikan gaya bank ini memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur (Ibid).
Pada konsep gaya bank, guru menempatkan dirinya sebagai lawan murid-muridnya, dan menganggap mereka orang-orang bodoh, sehingga tidak ada dialogika dalam proses pembelajaran. Padahal, dialogika tidak akan terjadi dalam hubungan yang bersifat dominasi dan otoriter. Dialog hanya akan terwujud manakala melibatkan pemikiran kritis yang tidak ada dikotomi antara dua pihak. Dalam konteks ini, pendidikan sejatinya tidak dilaksanakan oleh guru terhadap muridnya, tetapi justeru oleh guru bersama murid dengan sekolah sebagai medianya.
Sama seperti Freire, Ivan Illich pun menganggap interaksi dehumanistik telah membelenggu peserta didik, karena peran guru terlalu berlebihan: sebagai pengawas, sebagai moralis, dan sebagai ahli terapi, sehingga membuat peserta didik sebagai pihak yang bodoh sehingga membatasi gerak peserta didik dan mengalienasinya dari lingkungan sosial (Ivan Illich, 2000: 35-49).
Dengan demikian, pengembangan interaksi pembelajaran humanistik diorientasikan kepada sifat dan hakekat peserta didik sebagai manusia yang dinamis. Usaha-usaha yang dikembangkan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi dan rangsangan-rangsangan sehingga potensi kecerdasan mereka dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.
Untuk itu, pendidik harus mengenal peserta didiknya lewat pendekatan pemahaman bahwa mereka adalah “a natural being, asociated with other natural being, and like any other object of nature subject to scientific analysis and individual development” (Anak adalah satu makhluk alami, yang berhubungan dengan makhluk-makhluk alami yang lain, dan seperti juga obyek alamiah yang lain, ia merupakan bahan analisis ilmiah dan sekaligus sebagai satu perkembangan sendiri) (Theodore Bramel, 1955: 130).
Oleh karena itu, peserta didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk berbuat dan bersikap sesuai kemampuannnya dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan intelijensinya. Di sini prinsip interaksi pembelajaran humanistik adalah menjadikan anak sebagai “bos” pendidikan, sedangkan guru adalah “pelayan” pendidikan. Artinya, ada nilai demokratisasi pendidikan dalam peroses pembelajaran.
2. Dari Teaching Process Menuju Learning Process
Untuk mewujudkan atmosfir pendidikan dalam suasana dialogis, demokratis dan komunikatif; di mana tidak terjadi proses indoktrinasi, dominasi dan otoriter guru terhadap murid-muridnya, diperlukan visi baru pembelajaran di kelas.
Paradigma lama yang memaknai pendidikan secara reduktif hanya sebatas proses pengajaran semata (teaching process), telah memposisikan guru sebagai seseorang yang mempersiapkan murid-muridnya untuk lebih mementingkan aspek kognitif (penguasaan pengetahuan) semata melalui proses mendengarkan, menerima informasi dan mentaati segala perlakuan gurunya. Sementara aspek lainnya, seperti motorik dan afektif, yang sejatinya dapat memotivasi potensi otak secara utuh tidak/kurang diberdayakan
Di sinilah perlunya merumuskan kembali visi pembelajaran kita, dan merubah pola pembelajaran yang sesuai dengan dinamika zaman. Sudah saatnya kita mengubah paradigma pembelajaran dari teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini, proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid.” Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilah Ivan Illich dalam Deschooling Society-nya menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (murid/siswa), tetapi learner (yang belajar) (Lihat Indra Djati, 2001: 25).
Konsep learning process ini sesuai dengan empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO sebagaimana ditulis Indra Djati (2001: 25-26), yakni:
Pertama, learning to think berfikir. Ini berarti pendidikan berorientasi kepada pendidikan logis dan rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi.
Kedua, learning to do (belajar berbuat/hidup). Yakni learner diharapkan mempunyai keterampilan untuk mampu meenyelesaikan problem keseharian. Dengan kata lain, pendidikan diarahkan pada how to solve the problem.
Ketiga, learning to life together (belajar hidup bersama). Di sini pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang murid yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global bersama banyak manusia dari berbagai latar bahasa, etnik, agama dan budaya. Di sinilah pendidikan nilai semisal perdamaian, penegakan HAM, pelestarian lingkungan hidup, toleransi, menjadi aspek utama yang mesti menginternal dalam kesadaran learner.
Keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri). Ini dimaksudkan agar learner memiliki jati diri sehingga tidak mengalami krisis kepribadian, sehingga di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having (kesenangan materi dan jabatan semata).
Keempat visi tersebut disimpulkan dalam kata kunci “learning how to learn” (belajar bagaimana belajar). Sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademik semata, melainkan juga berorientasi pada, bagaimana seorang murid bisa belajar dari lingkungan, pengalaman, orang lain, alam dan sebagainya. Sehingga mereka mampu mengembangkan daya berfikir imajinatif dan sikap-sikap kreatif.
D. Merajut Jembatan Hati Antara Guru dan Murid
Untuk membangun keseimbangan peran antara guru dan murid dalam proses belajar (learning process), maka diperlukan pemahaman guru berkaitan lima hal berikut: (1) faktor psikologis murid dalam belajar-mengajar; (2) penyesuaian kebutuhan belajar murid; (3) pengembangan individu dan karakteristik murid; (4) metode pembelajaran; dan (5) peran guru.
(1) Belajar yang merupakan proses kegiatan mengubah tingkah laku subyek belajar (murid), secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Seorang guru harus menyadari pentingnya kedua faktor ini, khususnya faktor intern yang yang menyangkut faktor fisiologis dan psikologis murid.
Pemahaman guru terhadap faktor psikologis murid ini, akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan belajar secara optimal. Sebaliknya, tiadanya pemahaman terhadap faktor-faktor psikologis ini akan menambah kesulitan dalam proses pengajaran. Karena bisa jadi, informasi yang disampaikan guru tidak menyentuh hati murid. Begitu juga murid mengalami kesulitan bertanya, komunikasi edukatif dan tidak paham terhadap apa yang disampaikan guru. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran, guru diharapkan banar-benar mengtehui kondisi psikologis murid-muridnya.
(2) Penyesuaian kebutuhan murid yang dilakukan oleh seorang guru, di samping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan seefektif mungkin, juga dalam rangka memberikan materi pelajaran sesuai kebutuhan murid. Hal ini akan membantu pelaksanaan proses belajar mengajar. Seorang guru harus memahami kebutuhan-kebutuhan pembelajaran murid-muridnya, baik kebutuhan jasmaniah, kebutuhan sosial, kebutuhan intelektual, kebutuhan emosional maupun lainnya.
(3) Pengembangan individu berarti keinginan untuk mewujudkan individu menjadi pribadi yang mandiri, selaras, seimbang dan utuh. Sistem klasikal yang selama ini diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas-kelas, kenyataannya tidak dapat mengembangkan kemampuan individu-individu siswa secara pribadi dan mandiri. Guru masih memperlakukan individu murid sebagai kelompok. Padahal, untuk membentuk individu, haruslah dikembangkan proses belajar mengajar secara individual.
Sistem pembelajaran yang dilakukan secara individual, akan mempermudah guru dalam memahami karakter murid-muridnya secara lebih detail. Selanjutnya, pemahaman guru terhadap karakteristik muri-muridnya, baik karakteristik yang berkaitan latar belakang pengetahuan dan taraf pengetahuan, gaya belajar, usia kronologi, tingkat kematangan, spektrum dan ruang lingkup minat, lingkungan sosial ekonomi, intelegensia, prestasi belajar, motivasi dan lain-lainnya, diasumsikan akan mempermudah guru dalam menentukan tujuan pendidikan murid-muridnya.
(4) Agar learning process dapat berjalan dengan lancar, maka diperlukan metode dan pendekatan yang mendukungnya, yaitu metode pembelajaran yang tidak lagi mementingkan subject matter (seperti terlihat dalam GBPP yang rigid daripada siswa sendiri). Subject matter pada kenyataannya telah memaksa murid untuk menguasi pengetahuan dan melahap informasi dari guru, tanpa memberi peluang kepada murid untuk melakukan perenungan secara kritis, apalagi berfikir inovatif. Di sinilah guru dituntut dapat menerapkan metode dan pendekatan yang sesuai dengan kondisi belajar dan kondisi siswa. Apapun namanya metode tersebut, yang penting menekankan peran aktif siswa. dan bertumpu pada dialog. Sehingga murid mampu berpendapat dan menyampaikan komentarnya terhadap berbagai materi pelajaran dan informasi yang ada.
(5) Guru diakui atau tidak, tentu lebih berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya ketimbang muridnya. Walaupun demikian, tidak berarti ia satu-satunya pemegang kebenaran. Ia harus mampu memosisikan dan memerankan dirinya dalam learning process.
Ia tidak hanya berperan sebagai pengajar dan informator belaka. Lebih dari itu, guru adalah seorang pendidik yang tidak hanya “mengajar” seseorang agar menguasai pengetahuan, tetapi juga “melatih” murid-muridnya berbagai keterampilan dan sikap mental mereka. Mendidik sikap mental seseorang tidak hanya cukup mengajarkan pnegtahuan, tetapi bagaimana pengetahuan itu harus “dididikkan” dengan guru sebagai idola dan teladannya; seorang “pembimbing” yang menuntun dan mengarahkan perkembangan murid-muridnya sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, ikut membantu memecahkan persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan mereka, baik fisik maupun mental.
Guru adalah seorang “fasilitator” yang memfasilitasi dan memberikan jalan tengah bagi penyelesaian masalah-masalah yang menimpa murid-muridnya. Ia menjadi “mediator” yang mampu menjembatani berbagai kepentingan yang ada: antara dirinya dengan murid-muridnya, sekolah dan lingkungannya.
1. Signifikansi Pendidikan Nilai dalam Proses Pembelajaran
Secara jujur harus diakui, munculnya suasana yang tidak kondusif dalam proses belajar mengajar belakangan ini, di mana murid tidak lagi menghormati gurunya; murid tidak sopan; murid menganggap guru teman bercanda; murid menggunjingkan guru-gurunya; dan sebaliknya guru acuh dan tidak peduli terhadap apa yang terjadi dengan murid-muridnya, seperti tawuran, seks pranikah, narkoba dan sebagainya adalah disebabkan tiadanya pendidikan budi pekerti diajarkan dan ditanamkan di kelas/sekolah.
Oleh karena itu, membangun jembatan hati antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar, di samping lima hal di atas, adalah perlunya pendidikan nilai “diajarkan” dan “dididikkan” di kelas/sekolah. Menurut H.A.R. Tilaar, setidaknya ada tiga alasan, mengapa pendidikan nilai perlu dibangkitkan kembali dalam praksis pendidikan persekolahan. Pertama, melemahnya ikatan keluarga; kedua, kecenderungan negatif dalam kehidupan remaja; ketiga, perlunya nilai-nilai etik dikedepankan dalam kondisi bangsa yang rapuh moralitasnya (H.A.R. Tilaar, 1999: 74-75).
Pentingnya pendidikan nilai (moral) diakomodasi dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3: “Pendidikan nasioanl berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.”
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut menegaskan bahwa iman dan takwa merupakan landasan sistem nilai yang sejati dan harus dianut oleh setiap pendidik. Sikap dan perilaku para pendidik yang dilandasi iman dan takwa diharapkan berpengaruh terhadap diri peserta didik, baik melalui transfer of knowledge maupun melalui building of character.
Pendidikan nilai ini, secara verbal menjelaskan bagaimana seseorang berbicara dan bersikap terhadap sesama manusia. Dan secara praksis menuntut peserta didik uuntuk mengimplementasikan sikap, tindakan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di sekolah (terhadap guru-guru dan teman-temannya).
Dalam konteks persekolahan, entitas pendidikan nilai berarti, guru menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran serta mampu mendemonstrasikannya melalui sikap dan perilaku tentang kebaikan dan kebenaran dari karakter tingkah laku manusia. Idealnya, guru harus mampu “mempersonfikasikan” nilai-nilai pada sikap dan tingkah lakunya. Jadi diharapkan, guru mampu menyusupkan nilai-nilai kepada murid-murdnya pada setiap sikap dan tingkah lakunya. Bila hal ini terlaksana, maka tujuan pendidikan nilai, yakni melahirkan suatu perbuatan dan tindakan yang baik pada individu murid merupakan suatu keniscayaan, dan jembatan hati antara guru dan murid insya Allah akan lebih mudah terwujud (Abdul Hasim, 2000; Lihat Syaukani HR, 2006: 22).
2. Petuah Budaya dan Agama
Dalam konteks membangun jembatan hati antara guru dan murid dalam proses belajar (learning process) ini, catatan-catatan budaya, agama dan petuah-petuah orang tua dapat menunjukkan kepada kita, betapa interaksi yang kondusif dan baik –yang didasari nilai-nilai etika-- antara pendidik dan peserta didik/antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar akan memberikan berkah dan manfaat kepada keduanya, terutama kepada individu murid. Sebaliknya, interaksi belajar mengajar yang tidak didasari nilai-nilai etika, akan sulit membuka jembatan hati antara guru dan murid (Lihat Abdul Hasim, 2000).
Ki Hajar Dewantara, memberikan karakteristik seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar dengan menempatkan diri sebagai “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Maknanya, seorang guru hendaknya menjadi panutan/teladan bagi murid-muridnya, pembimbimg dan pendorong semangat murid-muridnya. Sehingga secara psikologis, murid merasa ada orang yang berusaha motivasinya.
Al-Ghazali seperti diungkapkan dalam magnum opus-nya, Ihya Ulum al-Din, menjelaskan bahwa seorang guru hendaknya bersikap kasih sayang kepada murid-muridnya sebagaimana kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya sendiri, transparan terhadap muridnya dalam transformasi pengetahuan, menjauhi pekerti buruk, tidak memaksakan kehendaknya kepada siswa, demokratis, memperlakukan murid sesuai kesanggupannya, menjadikan murid sebagai mitra ddan sebagainya. Sebaliknya, seorang murid juga harus menghormarti gurunya, sopan santun, patuh terhadap gurunya, tidak menyombongkan diri dengan pengetahuan yang dimilikinya serta tidak memaksa/memerintah gurunya (Imam Al-Ghazali, 2000: 82-86).
KH. Hasyim Asy`ari, seorang pendiri NU mengisyaratkan, bahwa guru adalah orang yang mulia dan memiliki pengalaman yang belum/tidak dimiliki oleh seorang murid. Oleh karena itu, dalam kegiatan belajar mengajar, seorang murid hendaknya mentaati dan tawadhu` kepadanya. Menurutnya, murid yang tidak menghormati seorang guru, maka tiada akan mendapat keberuntungan, keberkahan dan manfaat dari ilmunya. Sebaliknya, apabila ada suasana harmonis antara guru dan murid-muridnya, hal demikian akan memunculkan suasana kondusif dan kenikmatan tinggi bagi murid-muridnya (KH. Hasyim Asy’ari, 1415H: 29-30).
Sementara itu, menurut A. Hassan, pendiri Persis, guru adalah orang yang patut dihormati sebagaimana orang menghormati Rasul dan Tuhan. Dalam proses pembelajaran, ia menganjurkan, agar guru bersikap demokratis dan membuka nuansa kritis kepada murid-muridnya. Walaupun demikian, A. Hassan menggarisbawahi, guru hanya akan menyampaikan pengetahuan manakala dalam keadaan gembira dan tidak tertekan hatinya (A. Hassan, 1993).
Oleh karena itu, seorang murid hendaklah mampu menarik hati seorang guru untuk selalu gembira dan bahagia sehingga transformasi pengetahuan akan dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian, tidak dibenarkan sama sekali seorang murid membuat masalah dengan maksud merendahkan martabat guru, tidak menghargai, menghormatinya dan menghinanya. Seorang murid yang berbuat demikian terhadap gurunya, menurutnya tidak akan mendapatkan manfaatnya ilmu (A. Hassan, 1993).
E. Kesimpulan
Paradigma proses pembelajaran teacher oriented yang telah sekian lama berjalan diubah dengan paradigma baru, yakni student oriented. Proses pembelajaran guru-sentris disinyalir hanya menjadikan guru berlaku otoriter di kelas dan memproduksi peserta didik yang pasif. Sementara itu, student oriented, dalam praktiknya, telah mereduksi martabat guru: guru diacuhkan oleh murid; gru digunjingkan, guru dijadikan teman bercanda, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah dalam interaksi antara guru dan murid, agar student oriented tidak kehilangan idealistasnya dalam menghasilkan siswa yang humanis, kreatif dan invatif. Jalan tengah itu adalah memasukkan nilai-nilai moral, agama, dan petuah-petuah budaya dan orang tua dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Dengan itu diharapkan, interaksi, pola kemitraan dan dialogika yang dibangun oleh guru dan murid dalam proses pembelajaran berjalan dalam kerangka pendidikan yang sesungguhnya (transfer of knowledge dan character building).
F. Daftar Bacaan
AM., Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, cet. Ke-8

Asy’ari, Hasyim, Adab al-Alim wa al-Muta’allim fi Maa Yahtaj Ilaihi al-Muta’allumm fi Ahwal Ta-allum wa Maa Yatawagaf Alaihi al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limihi, Jombang: Turats Al-Islamy, 1415 H

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. Ke-1

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (terj dari Pedagogy of The Oppressed), Jakarta: LP3ES, 2000, cet. Ke-3

Ghazali, Imam Al, Ihya Ulum al-Din Juz I, Beirut: Dar al-Ma`arif, 2000.

Hasim, Abdul, “Pendidikan dalam Dimensi Moral”, Media Indonesia, Januari, 2000

Hassan, Ahmad, Kesopanan Tinggi Secara Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1993, cet. Ke-9

Illich, Ivan, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (terj dari Deschooling Society), Jakarta: Yayasan Obor, 2000, edisi ke-2

Mandagi, Marcel J, “Pendidikan Atas dasar Aktivitas Peserta Didik”, Suara Pembaharuan, Mei 1999

M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. Ke-27

Sidi, Indra Djati, Menuju masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina-Logos, 2001, cet. Ke-1

Suparno, Paul, Guru Demokratis di Era Reformasi, Jakarta: Grasindo, 2004

Syaukani HR, Pendidikan Paspor Masa Depan: Prioritas Pembangunan dalam Otonomi Daerah, Ed. Ahmad Ta’rifin & Firdaus Efendi, Jakarta: Nuansa Madani, 2006, cet. Ke-2

Syaukani HR, Titik Temu dalam Dunia Pendidikan: Tanggung Jawab Pemerintah, Pendidik, Masyarakat dan Keluarga dalam Membangun Bangsa, Ed. Ahmad Ta’rifin & Firdaus Efendi, Jakarta: Nuansa Madani, 2002, cet. Ke-1

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992, cet. Ke-3

Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bandung: Citra Umbara, 2003

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda