Kamis, 28 Mei 2009

Bangunan SD Runtuh saat Siswa Belajar
SEJARAH buruk bagi dunia pendidikan terjadi di wilayah Purworejo. Ruang
kelas I/II Sekolah Dasar (SD) Negeri Kunir, Kecamatan Butuh, runtuh saat
murid kelas II mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia.
Ketika itu, Jumat (9/5), 25 murid kelas II sedang mendapat tugas menulis.
Sementara ibu gurunya, Sukarti Kuatiasih, tengah menengok ruang sebelahnya
karena dia juga bertugas mengawasi kelas VI yang tengah mengikuti ulangan
umum semester 2 atau penjajakan ujian akhir nasional (UAN). Tanpa diduga,
muncul suara gemuruh di ruang kelas II.
Tak urung semua guru dan orang tua murid yang menunggu di halaman sekolah
berteriak histeris. Apalagi setelah melihat bangunan atap ruang kelas
tersebut runtuh total ke dalam kelas. Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika
didekati ternyata hanya ada seorang murid yang terlihat, sementara 24
lainnya di bawah reruntuhan.
Kepala Sekolah, Sukardjan, sempat kebingungan karena hanya melihat seorang
murid bernama Tiara Andamsari berdiri di sela-sela reruntuhan bangunan.
Anak itu menjerit-jerit kesakitan. Setelah diangkat dari tempat itu,
terlihat ada luka di kepala bagian belakang.
Selain itu, di beberapa bagian tubuhnya terlihat bentol-bentol. Ternyata
saat bangunan roboh, rumah lebah yang semula menempel ikut hancur dan
penghuninya marah.
Kebingungan para guru dan sejumlah orang tua murid kelas II semakin
menjadi-jadi karena 24 orang murid lainnya tidak terlihat di bawah
reruntuhan. Tetapi rasa waswas itu terobati setelah mereka bermunculan
lewat ruang lain. Ternyata 24 murid lainnya bisa selamat.
Bisa demikian karena sesaat setelah bangunan sekolah roboh, mereka
merangkak melalui bawah meja dan kursi. Lantas keluar melalui pintu
sebelah barat belakang. Di ruang kelas itu, memang ada dua pintu, satu di
dekat meja guru dan satu pintu lagi di sebelah barat.
''Yang membuat kami bingung karena setelah berhasil keluar dari reruntuhan
mereka tidak menampakkan diri, tetapi bergabung dengan murid-murid
lainnya. Mungkin mereka bingung dan ketakutan,'' imbuh Sukardjan.
Hancur
Akibat peristiwa yang terjadi pukul 08.15 itu, beberapa peralatan sekolah
di ruang itu hancur. Barang-barang yang rusak terdiri atas sebuah rak
buku, dua buah almari buku, satu stel meja kursi guru, 13 meja murid, dan
26 kursi murid.
Menurut kepala sekolah, SD tersebut dibangun awal tahun 1983. Seluruhnya
ada enam lokal termasuk untuk ruang kantor guru. Beberapa tahun lalu SD
mendapat bantuan kepada sekolah (BKS) dari pemerintah sebesar Rp 40 juta.
Namun ketika diterapkan, dana itu hanya mampu digunakan untuk merehab lima
lokal. Satu-satunya lokal/ruang yang belum terjamah perbaikan adalah ruang
kelas I/II yang roboh itu. Menurut Sukardjan, dia sudah berusaha mencari
dana dengan cara menyisihkan dana bantuan sekolah (DBS) dan menunggu
uluran tangan para perantau asal Desa Kunir.
Sambil menunggu datangnya bantuan, belum lama ini dia sudah meminta tolong
tukang kayu untuk mengecek kekuatan kerangka bangunan atap ruang kelas
I/II. ''Sudah dua kali dicek dokter kayu (tukang kayu-Red), katanya masih
kuat. Memang waktu mengecek yang dilihat hanya bagian baratnya,'' tutur
dia.
Setelah roboh, baru ketahuan ternyata gunungan atap bangunan itu tidak
dilengkapi kolom besi. Kebetulan Kamis malam (8/5) hujan yang tidak begitu
lebat mengguyur daerah itu cukup lama. ''Waktu itu saya di ruang kantor
dan mendengar suara gemuruh seperti helikopter,'' imbuh Sukardjan.
Sejak kejadian itu kegiatan belajar dan mengajar (KBM) murid kelas I dan
II dilakukan di tempat parkir sepeda. Dia bersyukur karena tidak ada murid
yang mengalami cedera serius. Walau beberapa saat setelah kejadian murid
kelas II tidak bisa diajak bicara, sekarang mereka sudah bisa mengikuti
pelajaran sebagaimana biasa.
Kabag Pembangunan Pemkab Purworejo, Doddy Budi Santoso, ketika diminta
tanggapan soal SD yang roboh itu kemarin belum bisa menjawab perbaikannya
akan dilakukan secepatnya atau tidak.
Sebab, saat ini Dinas Pendidikan sudah membuat SK tentang SD mana saja
yang akan diperbaiki. Diakui, dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah
pusat sebesar Rp 4,8 miliar sudah turun.
Malah dana itu akan ditambah dana pendamping dari Pemkab sebesar 10%
hingga mencapai jumlah total Rp 5.280.000.000. Rencananya dana itu akan
digunakan untuk merehab total/rehab berat sebanyak 68 buah SD dan 5 MI.
(Eko Priyono-74)

Selasa, 26 Mei 2009

SEKOLAH DAN KEGAGALAN PENDIDIKAN

SEKOLAH DAN KEGAGALAN PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Ta’rifin


Sekolah, oleh sementara masyarakat modern diyakini sebagai satu-satunya media untuk mendapatkan pengetahuan, dan mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri seorang anak. Sekolah juga dipercaya sebagai satu-satunya cara agar masyarakat sekarang dapat menatap hidupnya di masa depan. Berbagai program yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun lembaga swasta sering memanfaatkan jasa sekolah dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Oleh karena anggapan yang demikian, maka ketergantungan terhadap sekolah semakin besar.
Menurut Ivan Illich (dalam Omi Intan Naomi, 1999), selama beberapa generasi, kita telah berusaha menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak sekolah atau persekolahan. Tapi sejauh ini usaha itu mengalami kegagalan kandas. Yang didapatkan dari beberapa generasi, hanya pelajaran bahwa kita harus memaksa anak-anak untuk “memanjat tangga pendidikan” yang berujung pada tidak adanya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Yang ada, sekolah hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali “pemanjatan” pendidikan sejak dini. Sisanya hampir pasti gagal
Pengajaran yang diwajibkan di sekolah telah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri; pengetahuan diperlakukan ibarat komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, diterima sebagai harta pribadi oleh yang menerimanya, dan selalu langka di pasaran.
Semua sekolah berkata bahwa mereka membentuk manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Tapi mereka tidak mampu mendidik manusia untuk menuju masa depan. Praksis sekolah-sekolah, pada umumnya hanya menawarkan pendidikan untuk hidup dan bukan pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Realita yang ada menunjukkan, kondisi sekolah-sekolah yang ada saat ini telah menjadi sentral terpenting yang menampilkan gaya hidup baru, seperti budaya konsumtif, materialistis dan hedonistik, melalui biaya pendidikan yang begitu tinggi dan sarana yang serba lux, bukan lewat kulitas para lulusan tersebut, melainkan lebih karena orang tua yang memilih membesarkan anak sebagai investasi masa depan.
***
Menurut Malik Fadjar (2001), sekolah merupakan salah satu wahana ampuh dalam membawa bangsa dan negara kepada posisi yang terhormat dan diperhitungkan dalam percaturan bangsa-bangsa dan dunia internasional. Tetapi kenyataanya, sekolah bukan lagi mengambarkan lahan subur tumbuhnya suasana “belajar inovatif” (inovatif learning) punya daya antisipasi dan sekaligus partisipasi. Kalau demikian, bagaimana sekolah mampu membangun masa depan?
Karena masih dipertanyakan, kemudian banyak orang mulai skeptis terhadap sekolah, ketika ternyata, ia tidak mampu berperan mengentaskan berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, berbagai kasus amoral, asosial dan dehumanisme seperti tawuran antar-pelajar, perilaku free sex, narkoba, diskriminasi rasial, pembantaian antar-etnis dan sebagainya, menunjukkan betapa sekolah telah gagal menumbuhkan kepribadian para siswanya menjadi manusia Indonesia yang utuh, yang punya rasa sosial, etika, dan humanisme.
Dalam ruangan yang lebih sempit, sekolah dianggap telah gagal menciptakan para siswa menjadi masyarakat yang “berpendidikan”dan yang “belajar”. Sekolah telah menciptakan kondisi internal, sebagai suatu tempat yang hanya berfungsi sebagai “transit” pengetahuan dari seorang guru kepada anak-anak didiknya.
Berdasarkan kerangka di atas, wajar saja, ketika Andi Hakim Nasution mengusulkan untuk membubarkan sekolah. Kerangka berfikir demikian agaknya dipengaruhi pemikiran Ivan Illich, yang didasarkan pada asumsi, bahwa pendidikan sekolah justru telah menyebabkan polusi fisik, impotensi psikologis, dan polarisasi sosial, yang menurutnya tiga serangkaian penyebab degradasi global dan kesengsaraan dalam kemasan baru (modernised misery).
Degradasi global berlangsung ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang; ketika kesehatan, pendidikan, mobilitas pribadi, kesejahteraan, atau penyembuhan sikologis dilihat sebagai hasil dari jasa atau “pelayanan”, sementara itu, justru ada kecenderungan peningkatan upaya pelembagaan nilai-nilai. Sedangkan kesengsaraan dalam kemasan baru terjadi, ketika birokrasi yang dipercaya mengurusi kesejahteraan rakyat --termasuk di dalamnya pendidikan—menganggap dirinya satu-satunya lembaga yang punya monopoli profesional, politik, dan finansial atas imajinasi sosial denagn menetapkan patokan mengenai apa yang bernilai dan apa yang layak. Monopoli inilah yang menjadi akar modernisasi kemiskinan.